Sabtu, 07 Agustus 2010

Bagaimana Perempuan Berhias


Dari Hamid bin Abdurrahman: Mu'awiyah r.a. berdiri di atas mimbar pada bulan haji. Ia memegang seikat gulung rambut yang sebelumnya berada di tangan pengawalnya. Mu'awiyah berkata, "Wahai penduduk Madinah, di manakah ulama kalian? Aku telah mendengar Rasulullah Saw. bersabda, 'Sesungguhnya bani Israil hancur karena mengambil gulung rambut perempuan.'" (H.R. Al Bukhari dan Muslim)

Dari Anas bin Malik r.a.: Rasulullah Saw. melaknat kaum laki-laki yang suka berdandan menyerupai perempuan dan kaum perempuan yang suka menyerupai laki-laki. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. melaknat laki-laki yang berdandan seperti perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki. nabi Saw. bersabda, "Keluarkanlah mereka dari rumah kalian!" Kemudian beliau mengeluarkan si Fulan dan Umar mengeluarkan si Fulan. (H.R. Ahmad dan Al Bukhari)

Dari Imran bin Hushain: Rasulullah Saw. bersabda, "Ketahuilah, parfum bagi laki-laki adalah yang tidak berwarna tapi wanginya kuat. Ketahuilah, parfum bagi perempuan adalah yang berwarna tapi wanginya lembut." (H.R. Abu Dawud)

Dari Aisyah r.a.: Suatu hari, istri Utsman bin Mazh'un menyemir rambut, memakai wewangian dan meninggalkan suaminya, lalu menemuiku. Aku bertanya kepadanya, "Apakah suamimu sedang ada di rumah atau sedang pergi?" Ia menjawab, "Ada, tetapi seperti tak ada." Aku bertanya lagi, "Mengapa demikian?" Ia menjawab, "Utsman adalah orang yang tidak menginginkan dunia dan tidak tertarik pada perempuan." (H.R. Abu Dawud)

Dari Ubaidullah bin Uthbah bin Mas'ud: Umar bin Abdullah mengirim surat kepada Ubaidullah bin Abdullah bin Uthbah untuk memberitahukan bahwa Subai'ah telah memberi kabar kepadanya bahwa ia masih bersetatus sebagai istri Sa'ad bin Khaulah dari bani Amir bin Lu'ay. Sa'ad adalah orang yang ikut berjihad dalam medan perang Badar. Ia meninggal dunia dengan meninggalkan Subai'ah pada Haji Wada'. Ketika itu, Subai'ah sedang mengandung. Tidak lama setelah kematiannya, Subai'ah melahirkan. Ketika sudah melewati masa nifasnya, Subai'ah mempercantik diri supaya ada orang yang berkenan melamarnya. Oleh karena itu, Abu Sanabil bin Bu'kak menemuinya dan berkata, "Mengapa kamu mempercantik diri seperti ingin menikah lagi? Demi Allah, kamu tidak boleh menikah sebelum masa iddah mu habis, yaitu empat bulan sepuluh hari." Subai'ah berkata, "Setelah Al Sanabil mengatakan hal itu, aku mengemas baju-bajuku dan pergi menemui Rasulullah Saw. Aku bertanya kepada beliau tentang hal itu. Beliau mengatakan ketika aku sudah melahirkan, aku telah resmi menjadi janda. Beliau menyuruhku menikah bila telah ada laki-laki yang melamarku." (H.R. Jamaah kecuali Al Tirmidzi).

Beberapa hadist di atas menunjukkan beberapa hal sebagi berikut.

Pertama, pada umumnya perempuan terikat dengan fitrah atau karakter penciptaannya. Karena itu, dengan motif untuk mempercantik diri dan mengenakan perhiasan, perempuan tidak sepantasnya memiliki kecendrungan untuk menyerupai laki-laki dalam hal-hal yang khusus berkenaan dengan kaum laki-laki, seperti potong rambut. Demikian juga, perempuan tidak semestinya melampaui batas dalam merubah penampilan asli serta melakukan kepalsuan dalam berdandan, seperti menyambung rambut. Di sinilah kita memahami hikmah pengharaman tersebut.

Dalam kitab Al Kasysyaf dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan al zinah (perhiasan) adalah segala sesuatu yang digunakan perempuan ntuk berhias, seperti cincin emas, celak, dan cat kuku. Apabila perhiasan dikenakan pada anggota tubuh yang boleh tampak, misalnya cincin pada jari tangan dan celak pada mata, hukum menampakkannya adalah boleh. Namun, apabila perhiasan dikenakan pada anggota tubuh yang haram ditampakkan, seperti gelang tangan, gelang kaki, anting, kalung, dan mahkota memperlihatkannya kepada orang lain haram hukumnya, kecuali pada meraka yang disebutkan dalam ayat,


... dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang [biasa] tampak darinya. Hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan pehiasannya, kecuali pada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau perempuan-perempuan islam, atau budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan [terhadap perempuan], atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan.
(Q.S. An Nur [24]:31)

Mengapa hanya disebutkan perhiasan, tanpa disebutkan anggota tubuh yang menjadi tempat pemakaiannya? Hal itu menunjukkan penekanan (al mubalaghah) terhadap perintah untuk menjaga dan menyembunyikannya. Sebab, perhiasan-perhiasan tersebut pada umumnya dikenakan pada anggota tubuh yang tidak seorangpun diperkenankan melihatnya, kecuali mereka yang disebutkan dalam ayat di atas. Anggota-anggota tubuh tersebut adalah tangan, betis, lengan, leher, kepala, dada dan telinga. Dengan demikian, larangan memperlihatkan perhiasan itu sendiri menunjukkan larangan melihat pada tempat-tempat pemakaiannya. Dan, tidak satupun pendapat yang menghalalkan melihat anggota tubuh yang disebutkan, walaupun tanpa mengenakan perhiasan. Kesimpulanya, perempuan boleh memperlihatkan anggota tubuh yang dijadikan tempat perhiasan bila ada tuntutan kebutuhan, seperti menghilangkan sesuatu, jual-beli dan memberi kesaksian. Hal itu dikecualikan dari larangan memperlihatkan anggota tubuh yang menjadi tempat perhiasan.

Sementara itu, Abdul Halim Abu Syuqqah dalam bukunya, Tahris Al Mar'ah fi Ashr Al Risalah, mengatakan bahwa sebagian ulama berpendapat bahwa wajah perempuan itu sendiri adalah perhiasan. Apakah kita akan menambahkan fitnah dengan menambahkan perhiasan? Hal ini akan di jawab dengan alasan berikut.

Pertama, perintah menutup aurat bagi perempuan bukanlah hasil ijtihad yang bisa benar dan bisa salah. Akan tetapi, perintah itu merupakan ketetapan nash (Al Qu'an dan Hadits). Sementara itu, tidak boleh berijtihad dalam sesuatu yang ditegaskan oleh nash. Selama pemilik syariat (Allah) menetapkan suatu hukum, tidak seorangpun boleh bisa mengingkarinya.

Kedua, ketentuan syariat tentang akan muncul fitnah berkaitan dengan perhiasan perempuan, pada dasarnya tidak hanya berkaitan dengan masalah perhiasan, tetapi berkaitan dengan masalah perempuan secara umum. Namun, perempuan tidak dilarang berakitvitas ditengah masyarakat dan berinteraksi dengan kaum laki-laki. Untuk itu, syariat menetapkan aturan sopan santun (etika) bagi setiap aktivitasnya, misalnya dalam berbicara, berjalan dan berkumpul dengan orang lain. Apabila etika-etika dipelihara, perempuan akan terhindar dari segala macam fitnah.[]

Baca artikel lainnya:
Interaksi Perempuan Dengan Laki-Laki [Baca]
Adab Berjalan Di Tempat Umum [Baca]
Batasan Aurat Perempuan [Baca]
Berpakaian Tetapi Telanjang [Baca]

Tidak ada komentar: