Minggu, 16 Januari 2011

Nazhor Sebelum Menikah

Seorang pemuda yang hendak menikahi seorang wanita, bolehkah dia memandang wanita tersebut, bagaimana batasannya, dan kapan diperbolehkan?

(Abu Abdirrahman, aris…@gawab.com)

Jawab:

Alhamdulillah. Haramnya seorang lelaki memandang wanita yang bukan mahramnya termasuk dalam kategori tahrimul wasilah. Artinya, diharamkan karena merupakan wasilah (perantara) yang akan menyeret kepada perkara inti yang memang haram pada asalnya. Sehingga seluruh wasilah dan dzari’ah (jalan) menuju perkara tersebut ditutup oleh Allah subhanahu wa ta’ala, dengan cara diharamkan. Kaidah ini dikenal di kalangan ulama dengan istilah saddudz-dzari’ah (menutup jalan/wasilah).

Sesuatu yang pengharamannya termasuk dalam bab ini, bisa dibolehkan ketika ada hajat (tuntutan) kebutuhan meskipun bukan darurat. Ini adalah ushul (prinsip hukum) yang dipegang oleh Al Imam Ahmad, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (23/186-187, 214-215).

Berdasarkan hal ini, tatkala seorang lelaki berhajat untuk memperistri seorang wanita dan sebaliknya, maka hajat tersebut menuntut untuk saling mengenal terlebih dahulu. Sehingga keduanya menikah tidak secara membabi buta, yang mengandung resiko timbulnya penyesalan di kemudian hari dan berakibat tidak harmonisnya kehidupan rumah tangga mereka berdua.
Syariat yang penuh hikmah dan bijaksana ini menginginkan terciptanya rumah tangga yang harmonis, yang terbina di atas cinta dan kasih sayang, agar pasangan suami istri hidup tenang dan bahagia. Dengan demikian keduanya akan memiliki ‘iffah (mampu menjaga diri dari perzinaan dan perkara-perkara yang menyeret kepada perbuatan zina) serta mampu ber-ta’awun (bekerja sama dan saling membantu) dalam menaati Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjaga diri dari maksiat. Demikian pula berbagai maslahat lainnya yang merupakan tujuan disyariatkannya pernikahan. Wallahu ‘alimun hakim (Allah Maha Tahu lagi Maha Bijaksana).

Dalam rangka memenuhi tuntutan hajat ini, maka seorang lelaki yang hendak menikahi seorang wanita diizinkan untuk melakukan nazhor (melihat dan mengamati dengan seksama) wanita yang hendak dilamarnya. Sebagaimana dalam hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا إِلَى مَا يَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ

“Apabila salah seorang kalian melamar seorang wanita, hendaklah dia memandang bagian tubuhnya yang akan menjadikannya tertarik untuk menikahinya, jika dia mampu melakukannya.” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan selainnya, dihasankan oleh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 99 dan Al Irwa` no. 1791)

Begitu pula hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, yang mengisahkan seorang lelaki yang datang dan mengabarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa dia telah melamar seorang wanita dari kalangan Anshar. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya:

أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَانْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ اْلأَنْصَارِ شَيْئًا

“Apakah engkau telah melihatnya?” Lelaki itu menjawab: “Belum.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Hendaklah engkau melihatnya terlebih dahulu karena pada mata wanita-wanita Anshar ada sesuatu.” (HR Muslim, Ahmad dan An-Nasa`i)

Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum nazhor. Sebagian mereka mengatakan hukumnya mubah (boleh), dan sebagian yang lain mengatakan sunnah mustahab.

Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata dalam Asy Syarhul Mumti’ (5/125-126, cetakan Darul Atsar): “Yang benar dalam masalah ini hukumnya sunnah (karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkannya). Jika seseorang telah mengenalnya tanpa melakukan nazhor maka tidak ada hajat baginya untuk melakukan nazhor. Seperti halnya bila dia mengutus seorang wanita yang benar-benar dia percayai untuk mengenali wanita yang hendak dipinangnya (dan dia bersandar dengan berita dari wanita itu). Meskipun demikian, pada hakekatnya nazhor orang lain tidak cukup mewakili nazhor yang dilakukan sendiri. Karena boleh jadi wanita itu cantik di mata orang lain, namun belum tentu cantik di mata sendiri (Karena kecantikan adalah sesuatu yang relatif). Boleh jadi wanita itu dinazhor dalam keadaan gembira dan riang, yang tentu saja berbeda jika dinazhor dalam keadaan sedih. Juga, terkadang wanita yang dinazhor berusaha untuk tampil cantik dengan berdandan menggunakan make up, sehingga disangka cantik padahal tidak demikian hakikatnya.”

Perlu diketahui bahwa nazhor yang syar’i memiliki beberapa persyaratan:

1. Nazhor hanya terbatas pada bagian tubuh tertentu. Batasan ini diperselisihkan para ulama. Dalam hal ini, Al Imam Ahmad memiliki tiga riwayat (pendapat).

Riwayat pertama sama dengan pendapat jumhur ulama, yang mengatakan bahwa yang boleh dilihat adalah sebatas wajah dan telapak tangan.
Riwayat kedua, beliau berpendapat bahwa boleh untuk melihat bagian tubuhnya yang biasa nampak dan terlihat dalam kesehariannya ketika di rumah saat bersama mahramnya, seperti wajah, kepala, leher, lengan, dan betis.

Ibnu Qudamah dalam Al Mughni menerangkan riwayat ini: “Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan untuk nazhor secara mutlak, baik dengan seizin dan sepengetahuan si wanita yang bersangkutan ataupun tidak, berarti beliau mengizinkan untuk melihat apa yang biasa terlihat dalam kesehariannya ketika di rumah bersama mahramnya. Karena ketika melakukan nazhor secara diam-diam tanpa seizin dan sepengetahuan si wanita, maka tidak mungkin membatasi diri hanya melihat wajah saja. Bahkan bagian-bagian tubuh lainnya yang biasa nampak tentu akan terlihat pula.”

Riwayat ketiga sama dengan pendapat Azh Zhahiriyah, yakni boleh melihat seluruh bagian tubuh tanpa kecuali. (Lihat Al Mughni, 6/387-388, Tahdzib Sunan Abi Dawud hadits no. 2068, dan Nailul Authar, 6/111)
Dan yang rajih adalah riwayat/pendapat kedua dari Al Imam Ahmad.

Asy Syaikh Al Albani berkata dalam At Ta’liqat Ar Radhiyyah ‘ala Ar Raudhatin Nadiyyah (2/154): “Jika hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu tidak menunjukkan apa yang dikatakan Ibnu Hazm (yakni pendapat Azh Zhahiriyyah) maka tidak diragukan lagi bahwa hadits tersebut menunjukkan makna lebih dari batasan yang disebutkan oleh jumhur. Wallahu a’lam.”

Asy Syaikh Al Albani juga berkata dalam Ash Shahihah (1/157): “Riwayat yang kedua dari Al Imam Ahmad lebih dekat kepada dzahir (Makna hadits yang nampak dan terpahami secara langsung) hadits dan praktik para shahabat. Wallahu a’lam.”

Pendapat ini juga dipilih oleh Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu dalam Asy Syarhul Mumti’ (5/126).

Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata: “Jika dia belum melihat sesuatu yang menjadikan dia tertarik pada nazhor yang pertama, boleh baginya untuk mengulangi nazhor untuk yang kedua atau ketiga kalinya.”
Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan secara mutlak tanpa membatasi satu kali saja.

2. Nazhor dilakukan tanpa khalwat (berduaan). Karena tidak ada tuntutan hajat dan maslahat untuk ber-khalwat. Bahkan bisa menjatuhkan keduanya dalam perkara-perkara yang melanggar syariat, sehingga hal ini tetap haram hukumnya. Jadi, nazhor dilakukan dengan cara ditemani oleh wali atau mahram si wanita.

Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata: “Jika tidak mungkin (nazhor ditemani walinya) maka boleh bagi si lelaki untuk bersembunyi di tempat yang akan dilewati wanita tersebut dan mengamatinya secara diam-diam.”

3. Nazhor dilakukan tanpa disertai syahwat. Karena wanita tersebut belum menjadi istrinya, sehingga tidak dibenarkan dia bersenang-senang dengan memandanginya disertai syahwat.

4. Nazhor dilakukan apabila si lelaki telah bertekad untuk melamar si wantia. Jika sekedar coba-coba, atau barangkali dan barangkali, maka tidak dibenarkan. Karena pada asalnya, nazhor hukumnya haram. Hanya saja diizinkan ketika ada kebutuhan dan maslahat pernikahan. Sehingga nazhor tidak boleh melampaui apa yang diizinkan syariat.

5. Nazhor dilakukan apabila ada ghalabatuzh zhann (persangkaan kuat) bahwa lamarannya akan diterima. Seandainya dia seorang yang fakir atau miskin, kemudian menazhor anak seorang pejabat, atau seorang lanjut usia menazhor seorang gadis belia, perawan dan cantik, maka kemungkinan besar lamarannya akan ditolak. (Al Mughni, 6/387-388, Asy Syarhul Mumti’, 5/126-127)

Terakhir, sebagai peringatan, Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata dalam Asy Syarhul Mumti’ (5/126): “Tidak boleh melakukan percakapan dengan wanita yang dinazhor saat melakukan Nazhor. Karena percakapan lebih membangkitkan syahwat dan lebih menggoda untuk menikmati suaranya dari sekedar Nazhor. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan: ‘Hendaklah ia memandang dari tubuhnya’, bukannya mengatakan: ‘Hendaklah dia mendengar suaranya’.”

Wallahu a’lam.

Sumber: Majalah Asy Syari’ah no. 28/III/1428 H/2007 halaman 69-71.

Penulis: Al Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al Makassari

Tidak ada komentar: