Senin, 30 Agustus 2010

Sikap Tercela Bagi Perempuan


Dari Imran bin Hushain r.a.: Ketika Rasulullah Saw. sedang dalam perjalanannya, seorang perempuan dari kalangan Anshar yang sedang menunggang unta berkeluh kesah, lalu mengutuk unta tersebut. Hal itu, terdengar oleh RAsulullah Saw. Beliau lalu menegurnya, "Ambillah apa yang ada padanya dan tinggalkanlah, karena unta itu telah dikutuk." Dalam riwayat lain disebutkan, "Jangan biarkan unta yang dikutuk menemani kita." 'Imran berkata, "Seolah-olah aku melihatnya berjalan di tengah orang-orang tanpa seorangpun yang menghiraukannya." (HR. Muslim)

Dari Luqaith bin Sirah: Aku berkata, "Ya Rasulullah, aku mempunyai seorang istri yang ... (ia menyebutkan kata-kata jorok istrinya)." Rasulullah Saw. bersabda, "Cerikanlah dia!" Aku berkata,"Ia mempunyai seorang adik perempuan dan seorang anak." Rasulullah Saw. bersabda, "Suruhlah ia (berbuat baik) atau berbicaralah kepadanya jika ada kebaikan yang akan ia lakukan, dan janganlah memukul istrimu seperti memukul budak perempuanmu." (HR. Ahmad dan Abu Dawud)


Hadis di atas menyoroti beberapa hal berikut.
Pertama, emosi perempuan sering menguasai dirinya. Sudah menjadi kodrat bahwa perempuan sangat perasa, mudah terpengaruh dan cepat marah. Inilah ciri khas perempuan: mudah meluap emosinya. Ia juga mudah terpengaruh dan cepat marah karena hal-hal yang sepele. Kadang-kadang, kita tidak merasa heran jika sosok yang halus ini berubah secara tiba-tiba. Lalu, kita melihat dia berteriak dan melemparkan kutukan kesana-kemari. Lebih buruk lagi, ia kadang tidak memehatikan dan menyadari kepada siapa ia meluapkan emosinya: orang deat atau orang jauh, teman atau kekasih, suami atau anak. Tiba-tiba, ia memutuskan silaturahmi dan tidak berbicara kepada semua kerabatnya dan temannya. Inilah satu sifat perempuan yang bisa menjerumuskannya ke Neraka.

Diriwayatka bahwa pada suatu hari, seorang sahabat perempuan bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang mengapa kebanyakan penghuni neraka adalah kaum perempuan. Rasulullah Saw. menjawab, "Karena mereka sering melemparkan kutukan dan mengingkari pemberian suami." Oleh karena itu, perempuan yang saleh semestinya menjauhi sifat-sifat yang menjerumuskan ke Neraka, antara lain: suka mengutuk dan mengingkari pemberian suami.

Jika perempuan selalu berusaha untuk mencari keridhaan Allah dan kerelaan hati suaminya, ia pasti akan meraih surga yang dijanjikan. Sebab, surga kaum hawa terletak pada kelegaan dan kerelaan hati suami disamping kepatuhan dan ketundukannya kepada syariat Allah.

Tentang riwayat yang menjelaskan kebanyakan penghuni neraka adalah perempuan, ada sebuah hadis sahih yang mnyetakan sebaliknya.Dalam hadis yang diriwayatkan Muslim ini justru diisyaratkan bahwa kebanyakan penghuni surga adalah perempuan. Diriwayatkan, Muhammad bin Sirin pernah bertanya kepada Abu Hurairah, "Tidak bermaksud membanggakan diri ataupun menyebut-nyebut kembali, aku ingin bertanya: laki-laki atau perempuan yang paling banyak menjadi penduduk surga?"

Abu Hurairah menjawab, "Bukankah Abu Al Qasim (Muhammad) Saw. pernah berkata bahwa sesungguhnya rombongan pertama yang akan masuk kedalam surga laksana bulan di malam purnama, kemudian diikuti oleh kelompok bintang yang bersinar di angkasa. Masing-masing akan diiringi oleh dua orang istri (bidadari) yang sumsum tulangnya terlihat meski terbungkus oleh dangingnya; dan tidak ada seorang pun di dalam surga yang hidup membujang" (HR. Muslim)

Tentang hadis terakhir ini, Imam An Nawawi berkomentar bahwa Al Qadhi berkata, "Makna tekstual hadis ini menunjukkan bahwa kebanyakan penduduk ahli surga adalah kaum perempuan. Sementara itu, dalam hadis lain dijelaskan sebaliknya, bahwa kebanyakan penduduk ahli neraka adalah kaum perempuan. Kesimpulannya, kaum perempuan adalah jenis keturunan Adam yang paling banyak dan karenanya, merekalah yang paling banyak masuk surga dan masuk neraka. (lihat kitab Muslim bi Syarh Al Nawawi, h.170 juz 17).

Kedua, cepat emosi adalah kelemahan kodrati dalam diri perempuan, sebagaimana halnya keemburuan. Oleh karena itu, suami sebaiknya mengetahui ihwal sifat ini, mengenali sebab-sebabnya, dan berupaya untuk meredamnya atau mengatasinya dengan sikap bijak. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh Rasulullah Saw. yang meredam kemarahan Syafiyyah dengan mengusap air matanya. Dengan disertai kata-kata bijak dan lembut, Rasulullah Saw. pun mampu menenangkan gejolak emosi Syafiyyah.

Ketiga, hadis di atas mengingatkan kita untuk segera meredam emosi yang melampau batas. Tujuannya, agar emosi yang meluap-luap itu tidak sampai merusak keimanan seseorang, merendahkan dirinya dan mengotori ahlaknya, menyakiti keluarga dan teman-temanya, dan menebarkan keburukan pada masyarakatnya.[]

Baca artikel lainnya:
Pakaian Kebohongan [Baca]
Kecemburuan Istri [Baca]
Benci Karena Allah [Baca]
Perempuan Yang Kufur Nikmat [Baca]

Benci Karena Allah


Dari Ibn. Abbas r.a.: Suatu hari istri Tsabit bin Qais bin Syammas menemui Rasulullah Saw. lalu berkata, "Ya Rasulullah, aku tidak mencela diri dan agamanya. Akan tetapi, aku tidak suka akan penolakannya untuk masuk islam." Rasulullah Saw. bertanya, "Maukah kamu menerima konsekuensinya?" Ia menjawab, "Mau." Rasulullah Saw. lalu bersabda kepada Tsabit bin Qais bin Syammas, "Terimalah konsekuensinya dan ceraikanlah dia dengan talak satu". (HR. Al Bukhari dan Al Nasa'i)

Hadis ini menunjukkan bahwa perempuan saleh bisa membedakan antara perasaannya terhadap suami dan pengakuannya atas kebaikan-kebaikan suami. Ia tidak pantas merendahkan drajat suaminya atau menyebutkan sifat-sifat buruknya semata-mata karena ia membencinya, membenci sesuatu yang ada pada dirinya, atau karena ingin membebaskan dirinya.

Pelajaran dari hadis di atas, perempuan mukminah sangat dianjurkan bersikap terbuka kepada suaminya. Apa yang menurutnya kurang baik dari pihak suami, seharusnya disampaikan kepadanya dengan cara yang baik: tetap menghormati sang suami. Namun, jika masalahnya tidak dapat diselesaikan di antara kedua belah pihak, suami istri bisa memohon petunjuk kepada orang lain yang mempu memberikan nasehat agama-sebagaimana dilakukan istri Tsabit bin Qias bin Syammas ketika menemui Rasulullah Saw. dalam hadis di atas.[]

Baca artikel lainnya:
Kecemburuan Istri [Baca]
Sikap Tercela Bagi Perempuan [Baca]
Perempuan Yang Kufur Nikmat [Baca]
Calon Penghuni Surga [Baca]

Senin, 23 Agustus 2010

Perempuan Yang Kufur Nikmat



Dari Asma binti Yazid Al Anshariyyah r.a.: Ketika aku sedang duduk bersama orang-orang sebayaku, Rasulullah Saw. lewat dan mengucapkan salam kepada kami. Kemudian, beliau bersabda, "Waspadalah kalian, jagan mengingkari orang-orang yang telah memberikan kenikmatan." Di antara mereka, akulah yang paling berani bertanya kepada beliau. Aku bertanya, "Ya Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan pengingkaran terhadap orang-orang yang telah memberikan kenikmatan?" Beliau menjawab, "Bisa jadi seseorang dari kalian lama menjanda, lalu Allah menganugrahinya suami dan membarinya anak, tetapi ia sangat marah dan mengingkari nikmat. Ia berkata, 'Aku tidak mendapatkan satu kebaikan pun darimu'." (H.R. Al Bukhari dalam Al Adab Al Mufrad dan Ahmad)

Hadis ini mengingatkan kaum perempuan untuk menyukuri nikmat pernikahan dan kehadiran suami. Keberadaan suami adalah suatu anugrah Ilahi bagi perempuan. Apalagi bagi mereka yang telah lama menjanda. Jika Allah menganugrahi mereka pendamping hidup, maka seyogyanya mereka pun bersyukur dan membina rumah tangga yang baik dan harmonis.

Patutlah diketahui, jalan hidup manusia tidak selalu lurus. Ada lika-liku kehidupan dan berbagai perubahan dari waktu ke waktu. Seseorang bisa saja berada di puncak dan menikmati berbagai macam kenyamanan hidup, tetapi ia juga bisa jatuh miskin dan hidup sengsara dengan izin Allah. Semua itu, sudah diatur olah yang Mahakuasa, dan manusia hanya bisa berusaha.

Jika kemiskinan menimpa sebuah keluarga, istri salihah harus bisa bersabar menerima keadaan suaminya. Istri salihah harus bisa mensyukuri kehadiran suami yang saleh. Sebab, dialah pelundung bagi istri dan anak-anaknya. Dialah orang yang tetap berusaha keras untuk menghadapi keluarganya dengan makanan yang halal demi meraih ridha Allah.

Aneh, jika perempuan salehah tidak mau mensyukuri kehadiran suami. Dalam keadaan lapang maupun sempit, istri salihah mestinya mendukung suaminya denga sekuat tenaga. Inilah yang hendak diingatkan oleh Rasulullah Saw. dalam hadis di atas. Istri yang baik harus bisa mengukur kemampuan suaminya. Jika suami tidak bisa memberikan pelayan baginya, ia harus rela mengerjakan tugas-tugas rumah dengan hati lapang. Ia tidak boleh menuntut suaminya untuk memenuhi kebutuhan hidup yang tidak dapat dipikulnya. Ia juga tidak pantas iri dan dengki kepada orang kaya yang berpakaian bagus dan indah serta menikmati berbagai fasilitas hidup yang nyaman.

Jika istri tidak rela dengan keadaan suaminya-dan ia selalu menuntut suaminya dengan hal-hal yang tidak sanggup dipenuhi-ia telah memilih jalan hidup yang kufur nikmat, yaitu mengingkari orang-orang yang telah memberikan kenikmatan. Sebab, ia tidak berterima kasih kepada suaminya, meniadakan pemberiannya, dan menyianyiakan kenikmatan yang telah diberikannya disertai kebencian dan kemarahan. Wallahu a'lam.[]

Baca artikel lainnya:
Sikap Tercela Bagi Perempuan [Baca]
Benci Karena Allah [Baca]
Calon Penghuni Surga [Baca]
Perempuan Yang Membela Agama Allah [Baca]

Selasa, 17 Agustus 2010

Calon Penghuni Surga


Dari abdullah bin Abbas r.a.: Rasulullah Saw., bersabda, "Maukah kuberitahukan kepada kalian tentang istri-istri kalian yang termasuk penghuni surga? Yaitu perempuan yang mencintai suami, mempunyai banyak anak, dan selalu meminta maaf kepada suaminya. Jika ia menyakiti atau disakiti, ia segera mendatangi suaminya dan memegang tangannya, lalu berkata 'Demi Allah, aku tidak akan tidur sebelum engkau ridha kepadaku.'" (H.R. Al Nasa'i)

Hadis di atas menggambarkan beberapa hal sebagai berikut.

Pertama, karakter perempuan Muslim yang shaleh, yaitu perempuan yang mencintai suaminya dan sesalu menjaga ikatan pernikahannya dengan baik. Dialah perempuan idaman yang perhatiannya kepada suami lebih besar dari pada kepada orang lain. Baginya, suami dan keutuhan rumah tangga adalah dua kekayaan yang hakiki dan pusaka yang tidak akan tertandingi oleh harta yang berlimpah. Apabila seorang istri mampu mencintai suaminya, menjalankan kehidupan rumah tangga dengan baik, dan menjaga keutuhan pernikahannya, ia pasti akan meraih surga yang dijanjikannya.

Kedua, istri yang mencintai suami akan senantiasa memohon maaf kepadanya, baik karena telah menyakiti maupun karena disakiti, mendatanginnya dan mencium tangannya untuk memohon kerhidaannya. Ia tidak akan pernah bisa tidur sebelum memperoleh keridhaan suaminya.

Ketiga, istri yang mencintai suami selalu sungguh-sungguh dalam melayani suaminya dan menaati perintahnya. Bahkan, ia mau merendahkan diri dan merasakan berbagai macam kesusahan demi memperoleh ridha Allah Swt.

Keempat, perempuan yang mencintai suami tergerak untuk mengingatkan kelalaian suaminya terhadap kewajiban agama. Ketika suaminya lupa shalat, berdzikir dan menjalankan peran keislaman, ia mengatakan dan menyadarkannya. Inilah empat sifat perempuan yang dijanjikan Surga.[]

Baca artikel lainnya:
Benci Karena Allah [Baca]
Perempuan Yang Kufur Nikmat [Baca]
Perempuan Yang Membela Agama Allah [Baca]
Peran Sosial Bagi Perempuan [Baca]

Perempuan Yang Membela Agama Allah


Dari Anas bin Malik r.a.: Ummu Rabi' binti Al Barra r.a., Ibunda Haritsah binti Suraqah r.a., mendatangi Rasulullah Saw. dan bertanya, "Ya Rasulullah, apakah anda tidak ingin mengatakan sesuatu kepadaku tentang haritsah-yang gugur pada perang badar kerena terkena anak panah. Jika dia di Surga, aku pasti bersabar. Akan tetapi, jika tidak, aku akan terus menangisinya." Rasulullah Saw. menjawab, "Wahai Ummu Haritsah, surga terdiri dari beberapa tingkatan, dan anakmu mendapatkan ganjaran Surga Firdaus yang tertinggi." (H.R. Al bukhari)

Dari Anas bin Malik r.a.: Rasulullah Saw. menemui Ummu Haram binti Mulham r.a., istri Ubadah bin Al Shamith. Suatu hari, beliau menemuinya dan ia memberi beliau makan. Kemudian beliau merebahkan badannya dan tidur. Beberapa saat kemudian beliau bangun lalu tertawa. Ummu Haram bertanya, "Apa yang membuatmu tertawa?" Rasulullah Saw. menjawab, "Sekelompok umatku bersiap-siap berperang di jalan Allah. Mereka berlayar melintasi selat seperti raja-raja di tengah keluarga." Ummu Haram berkata, "Ya Rasulullah, do'akan agar aku termasuk dari mereka." Rasulullah pun mendo'akannya.

Rasulullah Saw. merebahkan badannya lagi lalu tertidur. Kemudian, beliau bangun sambil tertawa. Ummu Haram bertanya, "Apakah yang membuatmu tertawa?" Rasulullah menjawab, "Sekelompok umatku bersiap-siap berperang di jalan Allah ... (seperti ucapan beliau sebelumnya)." Ummu Haram berkata, "Ya Rasulullah, do'akan agar aku termasuk dari mereka." Rasulullah Saw. bersabda, "Kamu termasuk orang-orang yang pertama." Diriwayatkan bahwa, pada pemerintahan Mu'awiyah bin Abu Sufyan, Ummu haram jatuh dari kendaraannya setelah menyeberangi laut, lalu gugur sebagai Mujahid di jalan Allah. (H.R. Al Bukhari)

Hadis di atas menunjukkan beberapa hal berikut.

Pertama, segala sesuatu yang dilakukan perempuan berkenaan dengan agamanya dan partisipasi dalam penyebaran mempunyai makna yang khusus. Dalam catatan sejarah Isalam, kaum perempuan termasuk orang-orang yang gemilang mengukir prestasi. Mereka ikut serta berhijrah demi membela dan memelihara agama Allah. Mereka juga terlibat dalam berbagai peperangan, bahkan berani maju di garis depan untuk mengobarkan semangat, menyediakan logistik dan hal-hal yang berguna.

Kedua, perempuan mukmin, sejak zaman Rasulullah Saw., mengorbankan harta benda, jiwa, anak, suami, serta orang tuanya untuk memuliakan agama ini. Bahkan Al Khansa mengorbankan seluruh anaknya untuk membela Islam. Mereka juga tidak pernah merasa gentar dalam melakukan jihad tersebut.

Ketiga, umat Islam, sebagaimana ditunjukkan oleh Rasulullah Saw., seharusnya selalu menghargai kaum perempuan. Dalam hadis di atas, kita menyaksikan Rasulullah Saw., yang tidak pernah memasuki rumah perempuan, kecuali ruma Ummu Sulaim. Ketika ditanya tentang hal itu, beliau menjawab, "Aku menyayanginya, saudaranya gugur di puhakku." Kita juga menyaksikan bagaimana Rasulullah Saw. membela Asma binti Umais. Ketika Asma binti Umais mengadukan Umar bin Al-Khatab-yang berkeras bahwa orang-orang yang berhijrah ke Madinah lebih berhak atas Rasulullah Saw. dari pada orang-orang yang berhijrah ke Etiopia, dan Asma termasuk orang terakhir ini-Rasulullah Saw. bersabda kepada Asma binti Umais, "Tidak ada yang lebih berhak kepadaku dari pada kalian. Ia (Umar) dan teman-temanya hanya melakukan satu hujrah, sedangkan kalian-orang-orang yang naik kapal laut (yang berhijrah ke Etiopia)-melakukan dua hijrah."

Selanjutnya, kita juga melihat bagaimana sikap khalifah kedua, Umar bin Khatab yang lebih mengutamakan Ummu Salith dari pada putri Rasulullah Saw., dalam hal pemberian. Ia beralasan bahwa Ummu Salith telah berjasa karena telah membawa geriba berisi air minum pada perang Uhud.

Dalam hadis yang diriwayatkan Al Rabi', kita dapat memahami bahwa seorang perempuan boleh merawat seorang laki-laki bukan muhrim dalam keadaan genting atau darurat. Ibn Bathal berkata, "Hal itu hanya dikhususkan bagi orang-orang yang mempunyai hubungan darah atau yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan mereka. Sebab, bagian yang terluka tidak terasa nyaman jika disentuh, tetapi akan menyebabkan kulit bergetar. Apabila keadaan darurat menuntut hal demikian terhadap orang-orang yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan, pengobatan harus dilakukan secara tidak langsung dan tanpa menyentuh kulit. Hal ini diperkuat dengan kesepakatan ulama bahwa jika ada perempuan yang meninggal dan tidak ditemukan perempuan lain yang memandikannya, ia boleh dimandikan laki-laki dengan syarat tidak disentuh secara langsung, tetapi dengan menggunakan penghalang. Sebagian ulama, seperti Al Zuhri, juga berpendapat demikian.

"Namun, beberapa ulama lain mengatakan bahwa perempuan tersebut dimandikan dengan cara ditayamumkan. Al Auza'i berpendapat bahwa perempuan yang meninggal dalam keadaan demikian dikubur dalam keadaan seperti ia meninggal. Sementara itu Ibn Al Munabbar berpendapat bahwa perbedaan antara pengobatan dan pemandian mayat adalah bahwa pemandian mayat merupakan ibadah, sementara mengobati orang terluka adalah masalah yang bersifat darurat. Dalam keadaan darurat, sesuatu yang tadinya dilarang berubah menjadi sesuatu yang dibolehkan."[]

Baca artikel lainnya:
Perempuan Yang Kufur Nikmat [Baca]
Calon Penghuni Surga [Baca]
Peran Sosial Bagi Perempuan [Baca]
Berbakti dan Bersilaturahmi [Baca]

Peran Sosial Bagi Perempuan


Dari Al Syifa binti Abdullah: Rasulullah Saw. menemuiku ketika aku sedang berada di rumah Hafsah. Beliau bersabda kepadaku, "Mengapa kamu tidak mengajarkan kepada Hafsah sesuatu untuk mengetahui bahwa suatu perkataan tidak berguna dan tidak pula bermanfaat (ruqyah al-namilah) sebagaimana kamu mengajarinya tulis-menulis" (H.R. Ahmad dan Abu Dawud)

Dari Ummu Hani: Aku menemui Rasulullah Saw. pada hari penaklukan Makkah. Ketika itu, beliau sedang mandi dan Fatimah menutupinya dengan baju. Aku mengucapkan salam kepadanya ... (H.R. Muslim)

Dari Asma' binti Yazid r.a.: Rasulullah Saw. melewati kami, kaum perempuan, dan beliau mengucapkan salam kepada kami. (H.R. Abu Dawud dan Al Tirmizi yang menilainya hadis hasan)

Dari Aisyah r.a.: Suatu hari, seorang pengemis lewat di depan Aisyah, lalu ia memberikan sedikit makanan. Lalu lewat lagi seorang yang berpakaian bagus dan tampak makmur, Aisyah mempersilahkannya duduk dan memberikanya makan. Ketika ditanya mengapa memberikan perlakuan yang berbeda, Aisyah menjawab, "Rasulullah Saw. bersabda, 'Tempatkanlah orang-orang sesuai kedudukan mereka.'" (H.R. Abu Dawud)

Dari Abu Huarairah r.a.: Pada suatu hari atau malam, Rasulullah Saw. Keluar. Tiba-tiba bertemu dengan Abu Bakar dan Umar r.a. Beliau bertanya, “Apa yang menyebabkan kalian keluar rumah pada saat seperti ini?” Mereka menjawab, “Rasa lapar, ya Rasulullah!” Beliau bersabda, “Demi Tuhan yang diriku dalam kekuasaan-Nya, Aku juga keluar rumang karena alas an yang sama. Marilah kita pergi bersama!” Mereka pergi untuk menemui seseorang dari kalangan Anshar. Namun, orang itu sedang tidak ada di rumah. Ketika melihat Raslullah Saw. Istrinya berkata, “Selamat dating.” Rasulullah Saw. Bertanya, “Kemana si Fulan?” Perempuan itu menjawab, “Ia pergi mencari air tawar.” Tiba-tiba laki-laki Anshar itu dating. Ketika melihat Rasulullah Saw. Dan dua sahabatnya, ia berkata, “Segala puji bagi Allah, pada hari ini, hanya akulah yang mendapatkan tamu mulia.” Ia terus berjalan dan menemui mereka dengan membawa keranjang berisi kurma kering dan kurma segar. Ia berkata, “Silakan dimakan!” Lalu, laki-laki anshar itu mengambil pisau. Rasulullah Saw. Bersabda, “Berhati-hatilah, jangan mengambil kambing perah.” Orang itu segera menyembelih seekor kambing untuk mereka. Tak lama kemudian, mereka memakan daging kambing dan susunya. Setelah kenyang Rasulullah Saw. besabda kepada Abu Bakar dan Umar r.a., “Demi Allah yang diriku dalam kekuasaan-Nya, pada hari kiamat, kalian pasti akan ditanya tentang kenikmatan ini! Rasa lapar telah menyebabkan kalian keluar rumah, lalu kalian pulang setelah mendapat kenikmatan ini.” (H.R. Muslim)

Dari Ubaidullah r.a.: Kulihat Ummu Darda di atas pelananya tanpa penutup. Ia sedang merawat laki-laki dari kalangan Anshar ahli masjid (H.R. Al Bukhari)

Hadis-hadis di atas menunjukkan beberapa hal berikut. Pertama seorang perempuan muslim mempunyai peranan sosial, terutama di linkungan sejenisnya. Tidak sepentasnya ia mengabaikan peran ini dan meniinggalkan wilayah perannya. Sepantasnya ia juga tidak melibatkan dirinya dalam kebiasaan-kebiasaan buruk, misalanya bergaul secara bebas dengan laki-laki tanpa hijab yang bisa melindungi kehormatannya. Sebab, kebiasaan ini hanya akan melemahkan jiwaanya serta menghancurkan jiwa masyarakat Islam. Apalagi, jika kebiasaan itu dilakukan dengan alasan pembelaan hak-hak perempuan. Padahal, wacana seperti ini hanya bertujuan untuk memecah belah kaum perempuan dan menghancurkan tatanan nilai masyarakat dan keluarga muslim.

Peranan yang seharusnya dimainkan oleh kaum perempuan Muslim sangat beragam dan mencakup berbagai aspek. Namun, yang terpenting adalah dalam bidang pendidikan dan keterlibatan secara serius dalam pemberantasan buta agama dan ilmu pengetahuan, terutama di kalangan perempuan Muslim sendiri. Dalam kaitan ini, hadis tentang sosok Al Syifa memberikan teladan tentang keterlibatan perempuan dalam bidang pendidikan dengan tetap memerhatikan batas-batas aktivitas sosialnya.

Kesadaran kaum perempuan terhadap pendidikan agama sudah pasti mendoraong kemajuan masyarakat Islam. Hal ini juga menepis anggapan bahwa kaum perempuan islam jauh terbelakang. Sebab, islam adalah agama yang pertama kali menempatkan kaum hawa pada posisi yang mulia dan menjaganya agar tetap mulia. Di sinilah letak keluhuran agama Islam. Islam mengajarkan agar kaum perempuan memiliki peranan pendidikan dan sosial tanpa melepaskan jati diri dan kehormatannya. Karena itu, dalam aktivitas sosialnya, mereka harus tetap menjaga ketakwaan dan tidak menceburkan diri dalam tindakan yang diharamkan. Dengan demikian, jika tindakan haram dilanggar, peran sosialnya menjadi gagal dan aktivitas hidupnya menjadi hampa. Kita pun akan melihatnya suka bersikap semberono dan kadang-kadang tiidak punya malu! Na'udzu billah min dzalik!

Selanjutnya hadis yang diriwayatkan Ummu Hani dan Asma binti Yazid menjelaskan keutamaan-keutamaan menyampaikan salam kepada kaum laki-laki. Intinya seorang perempuan boleh menyampaikan salam kepada kaum laki-laki dan kaum laki-laki boleh menyampaikan salam kepada kaum perempuan bila diyakini tidak menimbulkan fitnah, baik dari pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Ada pun perincian masalah ini-sebagai mana dijelaskan dalam Nuzhah Al Muttaqin fi Syarh Riyadh Al Shalihah-adalah sebagi berikut

Pertama, seorang perempuan yang sedang sendirian tidak diperkenankan mengucapkan salam lebih dahulu kepada kaum laki-laki, atau sebaliknya.

Kedua, Sekumpulan perempuan atau perempuan-perempuan tua boleh membari salam lebih dahulu kepada kaum laki-laki, atau sebaliknya.

Ketiga, seorang laki-laki makruh menyampaikan atau menjawab salam seorang perempuan muda.

Keempat, sekelompok pemuda boleh menyampaikan salam kepada seorang perempuan muda bila dipastikan tidak akan menimbulkan fitnah.

Kelima, boleh, bahkan dianjurkan, seorang laki-laki membari salam kepada sekelompok perempuan.

Selanjutnya, seorang istri boleh menerima tamu suaminya jika tidak menyebabkan khalawat (berduaan yang menjurus pada maksiat) dan tidak menimbulkan fitnah. Hal itu dibolehkan ketika diketahui bahwa suaminya akan segera datang.

Hadis yang diriwayatkan Ubaidullah menjelaskan bahwa perempuan boleh merawat seorang laki-laki bukan muhrim. Ibn Hajar Al Asqallani, dalam Al Fath berkata, 'Ketika Rasulullah Saw. tiba di Madinah, Abu Bakar dan Bilal menderita sakit. Lalu, aku menemui mereka ... (dan seterusnya).' Dengan sanggahan bahwa peristiwa itu terjadi sebelum ada perintah untuk memakai hijab. Dijawab, bahwa hal itu tidak tercela. Perempuan boleh merawat laki-laki asalkan memakai hijab." Wallahu alam.[]


Baca artikel lainnya:
Calon Penghuni Surga [Baca]
Perempuan Yang Membela Agama Allah [Baca]
Berbakti dan Bersilaturahmi [Baca]
Balasan Bagi Ibu Yang Baik -Bagian 2- [Baca]

Senin, 16 Agustus 2010

Berbakti dan Bersilaturahmi


Dari Buraidah r.a.: Ketika aku sedang bersama Rasulullah Saw., datanglah seorang perempuan berkata, "Aku bersedekah kepada seorang budak perempuan atas nama ibuku yang telah wafat." Rasulullah Saw. bersabda, "Kamu pasti mendapatkan pahala, dan warisnya diberikan kepadamu." Perempuan itu bertanya, "Ya Rasulullah, ibuku memiliki kewajiban untuk mengqadha puasa selama sebulan, bolehkah aku berpuasa atas namanya?" Rasulullah Saw. menjawab, "Berpuasaah atas namanya!" Perempuan itu bertanya lagi, "Ibuku belum berhaji. Bolehkah aku berhaji atas namanya?" Rasulullah Saw. menjawab, "Berhajilah atas namanya!" (H.R. Bukhari dan Muslim)

Dari Asma binti Abu Bakar r.a.: Ibuku ingin bertemu denganku, sedangkan saat itu ia masih musyrik. Lalu, aku bertanya kepada Rasulullah Saw., "Ibuku ingin bertemu denganku, bolehkah aku menemuinya?" Rasulullah Saw. menjawab, "Ya, temuilah ibumu! Ibn Uyainah berkata, "Kemudian turunlah ayat, Allah tidak melarangmu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama ... (QS. Mumtahanah [60]: 8)." (H.R. Al Bukhari dan Muslim)

Dari Aisyah r.a.: Aku berkata kepada Rasulullah Saw., "Aku mempunyai dua tetangga. Tetangga mana yang harus didahulukan ketika aku ingin memberi hadiah?" Rasulullah Saw. menjawab, "Kepada tetangga yang pintu rumahnya paling dekat." (H.R. Bukhari)

Dari Abu Hurairah r.a.: Rasulullah Saw. bersabda, "Wahai perempuan muslim, janganlah merendahkan satu tetangga atas tetangga yang lain, walaupun hanya dengan kikil kambing." (H.R. Al Bukhari dan Muslim)

Dari Abdul Wahid bin Aiman r.a.: Ayahku pernah bercerita bahwa ia pernah menemui Aisyah r.a., dan di hadapannya ada sehelai pakaian dari katun kasar seharga lima dirham. Kemudian, Aisyah berkata kepadanya, "Lemparkan pandanganmu kepada budak perempuanku yang sedang aku perhatikan. Ia akan menjadi cantik ketika mengenakan pakaian ini dirumahku. Aku adalah seorang perempuan yang memiliki baju seperti itu pada masa Rasulullah Saw., dan perempuan Madinah ingin bersolek datang kepadaku untuk meminjamnya." (H.R. Al Bukhari)

Dari Auf bin Malik Al thufauil: Tentang sebuah Jual-beli atau pemberian sesuatu yang dilakukan Aisyah, Abdullah bin Zubair r.a. berkata, "Demi Allah, Aisyah harus menghentikan atau mencegahnya untuk menggunakan hartanya." Aisyah bertanya, "Benarkah ia mengatakan demikian?" Para sahabat menjawab, "Benar." Aisyah berkata, "Apa yang dikatakannya telah dicatat di sisi Allah, dan aku bernazar bahwa aku tidak akan berbicara dengan Ibn Al Zubair untuk selamnya."

Setelah lama tidak saling menyapa, Ibn Al Zubair meminta bantuan orang lain agar bisa bertemu dengan Aisyah. Akan tetapi Aisyah berkata, "Demi Allah, Tidak. Aku tidak akan menerima perantaranya dan membatalkan nazarku." Kemudain Abdullah bin Al Zubair berbicara kepada Al Miswar bin Mukharamah dan Abdurrahman bin Al Aswad bin Abd Yaghuts. Kepada mereka, Ibn Zubair berkata, "Allah meninggikan derajat kalian jika kalian bisa mempertemukanku dengan Aisyah r.a. Sebab, ia tidak boleh bernazar untuk memutuskan silaturahmi denganku." Al Miswar dan Abdurrahman menyanggupi sehingga keduanya meminta izin kepada Aisyah r.a. Mereka berkata, "Assalamu alaikum warah matullahi wabarakatuh. Apakah kami boleh masuk?" Aisyah menjawab, "Masuklah!" Mereka bertanya lagi, "Apakah kami semua?" Aisyah menjawab, "Ya, kalian semua-Aisyah tidak mengetahui bahwa Abdullah bin Al Zubair bersama mereka."

Ketika Abdullah bin Zubair memasuki hijab, ia segera meminta maaf kepada Aisyah sambil menangis. Abdurrahman dan Al Miswar ikut membujuk Aisyah agar menerima dan berbicara kepada Al Zubair. Mereka berkata, Sesungguhnya Rasulullah Saw. telah melarang apa yang kamu ketahui, yaitu tidak saling menyapa. Seorang muslim tidak boleh mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari." Setelah itu mereka memberikan banyak nasehat kepada Aisyah, akhirnya Aisyah menyadarinya dan menangis. Ia berkata, "Aku telah bernazar dan nazar itu sangat berat."

Abdurrahman dan Al Miswar terus membujuk Aisyah hingga ia mau berbicara dengan Abdullah bin Al Zubair. Untuk menebus nazarnya Aisyah membebaskan empat puluh budak. Setiap kali teringat pada nazar itu, Aisyah selalu menangis hingga air mata selalu membasahi jilbabnya (H.R. Al Bukhari)

Dari Abu Hurairah r.a.: Rasulullah Saw. bersabda, "Seorang perempuan pelacur melihat seekor anjing yang sedang menjulurkan lidahnya di tepi sebuah sumur. Anjing itu hampir mati kehausan. Perempuan tersebut melepas sepatunya dan mengikatnya dengan kerudung untuk mengambil air dari sumur, lalu ia meminumkannya kepada anjing. Oleh karena itu, dosa-dosanya diampuni." (H.R. Al Bukhari)

Hadis-hadis di atas menjelaskan bahwa perempuan harus memberikan sumbangsih pada lingkungannya, menebar kebaikan melauli tangan dan hatinya, dan bergaul secara baik dan penuh kesopanan.

Lingkungan paling utama yang berhak mendapatkan kebaikan perempuan adalah kedua orang tua dan para kerabatnya. Hal ini dapat dilakukan melalui berbagai cara, misalnya dengan bersedekah untuk meringankan beban kehidupan orang tua serta bersedia mengqhada kewajiban-kewajiban mereka yang telah lewat, seperti puasa dan haji. Kebaikan bersedekah ini bisa dilaksanakan meski orang tua kita dalam kemusyrikan dan bukan kelompok yang wajib di perangi.

Dari hadis yang diriwayatkan Buraidah, Imam Al Nawawi menyimpulkan beberapa hal, antara lain:

Pertama, perempuan (anak) boleh berpuasa atas nama orang tua yang telah meninggal.

Kedua, barang yang telah disedekahkan oleh anak kepada orang tua boleh diwarisi sang anak ketika orang tuanya meninggal. Barang tersebut boleh juga dimanfaatkan tetapi makruh untuk dijual.

Ketiga, boleh menghajikan orang yang telah meninggal atau orang yang tidak mampu melakukannya disebabkan faktor fisik. Hal ini telah disepakati oleh sebagian besar ulama.

Dari hadis yang diriwayatkan Maimunah, kita dapat mengetahui bahwa kerabat yang miskin lebih pantas menetima sedekah dari pada orang lain. Jika kerabat itu membutuhkan pelayan untuk rumah tangganya, memberikan pelayan kepadanya lebih baik dari pada memerdekakan budak. Sebab, yang diperoleh dalam memberikan pelayanan kepadanya adalah dua pahala: pahala sedekah dan pahala silaturahmi.

Dalam hadis yang diriwayatkan Aisyah dan Abu Hurairah terdapat anjuran agar perempuan berbuat baik kepada tetangga, utamanya tetangga terdekat. Sebab, dialah orang yang sring melihat dan mengetahui makanan atau barang yang masuk ke rumah kita. Dia juga kadang lebih mengetahui keadaan kita serta lebih cepat memberikan bantuan jika ada kesulitan yang menimpa kita, utamanya ketika kita sedang lengah. Selanjutnya, salah satu etika bertetangga adalah tidak meremehkan sekecil apapun sedekah yang diberikannya. Bahkan, kita dianjurkan untuk bersedekah apa saja yang bermanfaat untuk tetangga kita. Selain sedekah berupa materi, sedekah dalam bentuk nasehat keagamaan dan kehidupan duniawi juga sangat dianjurkan.

Hadis dari Abdul Wahid berisi anjuran agar memperluas lingkup kebaikan dan sumbangsih perempuan kepada lingkungannya, seperti meminjamkan baju. Dari hadis ini, Al hafizh mengutip pendapat Ibn Al Jauzi yang menyimpulkan, "'Aisyah r.a. bermaksud agar mereka (orang-orang yang sangat membutuhkan) didahulukan dalam masa-masa sulit sehingga sesuatu yang remeh menjadi bernilai bagi mereka. Hadis itu juga menunjukkan bahwa meminjamkan pakaian kepada pengantin merupakan hal yang disukai, dan bukan merupakan suatu aib. Lebih lanjut, hadis ini menampakkan sikap rendah hati dan kelembutan Aisyah kepada pelayannya. Aisyah mengutamakan pelayannya karena ia benar-benar membutuhkan pakaian tersebut."

Dengan demikian, dalam lingkup yang luas, perempuan muslim hakikatnya memainkan peran penting dalam menguatkan sendi-sendi kehidupan masyarakat dan mengukuhkan bangunannya sehingga mereka dapat menjalankan ajaran-ajaran agama dengan baik.

Selanjutnya, hadis yang diriwayatkan Auf bin Malik memberikan landasan penting dalam meneguhkan prinsip-prinsip persaudaraan dalam agama dan akidah Islam, yakni, "seorang muslim tidak boleh mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari." dan "Tidak boleh bernazar untuk memutuskan persaudaraan". Hal demikian tercermin dalam sikap yang ditunjukkan Aisyah r.a. dan Abdullah bin Al Zubair.

Di samping itu, hadis Auf bin mailik juga menjelaskan hal-hal sebbagai berikut.

Pertama, dua orang muslim boleh tidak saling menyapa-lebih dari tiga hari-jika dilakukan atas dasar Allah Swt. Jika dilakukan karena kepentingan duniawi, hukumnya haram.

Kedua, tidak boleh bernazar untuk kemaksiatan. Adapun khafarat nazar adalah memerdekakan seorang budak, atau memberi makan atau pakaian kepada 60 orang miskin. Jika tidak mampu, bisa dengan puasa tiga hari berturut-turut.

Ketiga, kebaikan juga bisa dilakukan dengan menyayangi binatang.[]

Baca artikel lainnya:
Perempuan Yang Membela Agama Allah [Baca]
Peran Sosial Bagi Perempuan [Baca]
Balasan Bagi Ibu Yang Baik -Bagian 2- [Baca]
Balasan Bagi Ibu Yang Baik -Bagian 1- [Baca]

Balasan Bagi Ibu Yang Baik -Bagian 2-


Seorang Ibu adalah lambang belas kasih, pengorbanan, dan kebesaran hati. Ibu menanggung sendiri semua beban dalam membesarkan anak sejak kehamilan hingga kelahiran, lalu penyusuan hingga penyapihan. Kontribusi ibu selam periode ini-utamanya dalam mempertaruhkan nyawa dalam situasi kritis-seperti kontribusi pejuang atau mujahid di jalan Allah. Jika ibu meninggal dalam masa itu, ia memperoleh pahala seperti pahala orang yang mati syahid.

Kadang-kadang kita melihat seorang ibu yang penyayang. Ia khawatir bila anaknya celaka, walaupun ia jauh darinya. Kadang-kadang kita juga melihat seorang ibu yang rela mengorbankan kebahagiaan, kesenangan, dan ketenangannya demi ketenangan dan kebahagiaan anak-anaknya. Kadang-kadang kita melihat ibu yang rela berlapar-lapar demi memenuhi kebutuhan anak-anaknya.

Hadis Umamah menyoroti sejauhmana keteguahan seorang perempuan dalam memenuhi hak Tuhannya, seperti menjalankan shalat, dan menjaga hak suaminya karena mengharapkan pahala dan surga dari Allah Swt. sebagai balasan dari kasih sayang dan perhatiannya kepada anak-anak.

Kasih sayang dan segala perhatian ibu kepada anak-anaknya bukan hanya menjaga kelangsungan hidup yang layak bagi mereka. Lebih dari itu, seorang ibu selalu menginginkan anak-anaknya tumbuh menjadi pribadi yang shaleh. Untuk itu, ia selalu berjanji kepada mereka untuk menjaga dan mendidik mereka sesuai dengan nilai-nilai islam yang benar. Dengan cara seperti ini, ibu seperti menanam sebatang pohon yang kuat di taman Islam, menanamkan cinta islam dan dakwah untuk islam.

Seorang ibu mengajarkan kepada anaknya untuk mencintai ilmu pengetahuan dan menghormati para ulama, menyayangi kaum muslimin dan berlaku adil kepada non-Muslim. Lebih dari itu ibu sesalu mendorong anak-anaknya untuk mengasah kemampuan berdialog dengan cara yang baik, memilih jalan kebenaran, mendukung hubungan sosial yang kondusif, membenci perpecahan dan peduli terhadap segala masalah yang dihadapi umat. Ibu yang baik juga memperingatkan anak-anaknya tentang bahaya komunisme, pembaratan, globalisasi, dan ancaman Yahudi.

Dari sini, kita bisa melihat betapa seorang ibu melakukan segala cara untuk menyuburkan tanaman islam dalam jiwa anak-anaknya, misalnya dengan mempererat hubungannya dengan anak-anak dan membiasakan mereka untuk melaksanakan shalat dan puasa sejak dini. Dengan penuh kasih sayang dan kecintaan, serta dengan penuh harapan untuk menanamkan dan menumbuhkan ahlak yang luhur dan mulia, soerang ibu berusaha menjadikan dirinya suru teladan yang baik bagi mereka dalam kehidupan sehari-hari. Jika tidak, bagaimana akan tumbuh sikap jujur pada diri mereka, meski hanya bercanda? Bagaimana akan tertanam keutamaan untuk menyimpan rahasia, sedangkan dari mulut sang ibu telah keluar berbagai rahasia yang seharusnya disimpan? Atau, bagaimana akan tumbuh sikap yang dapat dipercaya pada diri anak, sementara orang tua selalu menyebarkan rahasia dan aib orang lain dihadapan mereka?

Dengan demikian, jika para ibu ingin berhasil mencapai kedudukan mulia ini, hendaknya mereka bersabar dalam menghadapi segala ujian serta berteguh hati bahwa tugas yang dijalankan adalah anugrah dan amanah dari Allah Swt., sebagaimana dicontohkan oleh Ummu Sulaim dan ibu-ibu yang lain.

Nah, sebagai penghargaan atas peran besar dan kasih sayang ibu bagi kehidupan anak-anak, Allah membalasnya dengan menempatkanya sebagai sosok paling berhak mendapatkan perlakuan istimewa dari anak-anaknya. Allah juga menjadikan surga di bawah telapak kakinya, dan menjadikannya-ketika terjadi perceraian-sebagai orang yang lebih berhak mengasuh anak-anak dari pada ayah mereka selama mereka belum menikah lagi. Karena itu, Syaikh Hasan Shiddiq Khan berpendapat,

"Para ulama telah sepakat bahwa ibu lebih berhak mengasuh anak dari pada ayah. Ibn Mundzir mengutip ijma' bahwa hak ibu hanya bisa dibatalkan dengan pernikahan lagi. Hadis ini juga menjelaskan beberapa hukum yang lain, yaitu orang yang paling berhak mengasuh anak adalah ibu selama ia belum menikah lagi dengan orang lain, lalu bibi dari pihak ibu, lalu ayah. Kemudian, Al Hakim menentukan kerabat yang dinilai layak. Apabila anak telah dewasa, ia dipersilahkan memilih antara ayah dan ibunya. Jika ia menilai bahwa tidak ada yang layak mengasuhnya, syariat menetapkan bahwa pengasuhnya diserahkan kepada orang yang layak."[]

Baca artikel lainnya:
Peran Sosial Bagi Perempuan [Baca]
Berbakti dan Bersilaturahmi [Baca]
Balasan Bagi Ibu Yang Baik -Bagian 1- [Baca]
Menikahi Janda [Baca]

Kamis, 12 Agustus 2010

Balasan Bagi Ibu Yang Baik -Bagian 1-


Dari Ibnu Umar r.a.: Rasulullah Saw. bersabda, "Perempuan yang hamil hingga melahirkan dan menyapih anaknya akan mendapat pahala seperti pahala orang yang terluka di jalan Allah. Jika ia meninggal dalam masa itu, ia akan mendapatkan pahala mati syahid." (H.R. Ibnu Al Jauzi)

Dari Rasyid bin Hubaisy: Rasulullah Saw. menjenguk Ubadah bin Al Shamith yang sedang sakit. Beliau bertanya, "Tahukah kalian siapa orang yang mati syahid dari umatku", orang-orang yang ada di sana diam saja. Lalu, Ubadah berkata, "Buatlah aku untuk duduk!" Mereka pun mendengarkannya. 'Ubadah berkata, "Yaitu orang yang sabar dan selalu bersyukur, ya Rasulullah!" Belia bersabda, "Jika demikian, para syahid dari umatku jumlahnya sangat sedikit. Orang yang gugur di jalan Allah Swt. adalah syahid, orang yang meninggal karena penyakit pes (tha'un) adalah syahid, orang-orang mati tenggelam adalah syahid, orang yang meninggal karena penyakit perut adalah syahid, dan ibu yang meninggal karena melahirkan akan ditarik ke surga oleh anaknya." (H.R. Muslim dan Abu Dawud)

Dari Abu Hurairah r.a.: Ada dua orang perempuan sedang duduk bersama anak-anaknya. Tiba-tiba datang seekor serigala dan merenggut anak seorang perempuan itu. Perempuan yang satu berata, "Serigala telah merenggut anakmu." Perempuan yang lain berkata, "Serigala itu merenggut anakmu." Mereka mengadukan hal itu kepada Nabi Daud a.s. Lalu, Daud memutuskan bahwa anak yang selamat itu adalah anak dari perempuan yang lebih tua. Lalu, mereka menemui Sulaiman bin Daud dan memberitahukan hal itu kepadanya. Sulaiman berkata, "Ambillah pisau. Aku akan membelah anak ini untuk dibagi diantara kalian." Perempuan yang lebih muda berkata, "Jangan lakukan-semoga Allah merahmatimu! Biarlah ia menjadi anaknya." Sulaimanpun memutuskan bahwa anak itu adalah anak dari perempuan yang lebih muda. (H.R. Al Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Huarirah r.a.: Rasulullah Saw. bersabda, "Aku adalah orang pertama yang membuka pintu surga. Kulihat seorang perempuan mendahuluiku. Aku bertanya kepadanya, 'Apa yang telah kamu lakukan?' perempuan itu menjawab, 'Aku adalah perempuan yang mengasuh anak-anakku yang sudah yatim, yakni tidak menikah lagi sepeninggal suaminya dan mengurus anak-anaknya.'" (H.R. Abu Ya'la)

Dari Abu Umamah r.a.: Rasulullah Saw. melihat seorang perempuan yang membawa anak-anaknya. Anak yang satu digendong, sedangkan anak yang lain berjalan di belakangnya. Rasulullah Saw. bersabda, "Ibu-ibu yang mengandung, melahirkan dan menyayangi anak-anaknya, jika mereka tidak mendurhakai suami dan mendirikan shalat, niscaya akan masuk surga." (H.R. Al Hakim)

Dari Anas bin Malik r.a.: Seorang perempuan menemui Aisyah r.a., Aisyah memberinya tiga buah kurma. Lalu, perempuan itu memberikan kurma kepada dua anaknya, masing-masing satu buah. Ia sendiri memegang sebuah kurma untuk dirinya. Setelah kedua anak itu menghabiskan kurma mereka masing-masing, mereka memandang kepada ibunya. Perempuan itu membelah kurma yang ada di tangannya dan membagikan kepada kedua anaknya. Kemudian Rasulullah Saw. datang dan Aisyah memberitahukan hal terseut kepadanya. Rasulullah Saw. bersabda, "Apa yang membuatmu kagum terhadap hal itu? Allah telah merahmatinya karena kasih sayangnya kepada anak-anaknya." (H.R. Al Bukhari)

Dari Jabir bin Abdullah r.a.: Rasulullah Saw. bersabda, "Janganlah mendo'akan kejelekan bagi diri kalian, anak-anak kalian, pekerja kalian, atau harta-harta kalian agar kalian tidak bertepatan dengan saat pemberian dari Allah sehingga do'a kalian akan terkabul." (H.R. Al Bukhari)

Dari Rabi binti Ma'udz r.a.: Suatu pagi pada hari Asyura, Rasulullah Saw. mengutus seseorang ke perkampungan orang Anshar untuk menyampaikan pengumuman, "Siapa yang tidak puasa pada pagi ini, tidak apa-apa. Siapa yang berpuasa pada pagi ini, hendaklah ia terus berpuasa." Kemudian, mereka berkata, "Kami berpuasa dan kami menyuruh anak-anak kami yang masih kecil agar berpuasa, insya Allah. Kami ajak mereka ke masjid dan kami buatkan mainan untuk mereka. Apabila ada yang menangis meminta makan, kami memberi mereka mainan sehingga meraka dapat menyempurnakan puasa mereka hingga magrib." (H.R. Al Bukhari dan Muslim)

Dari Abdullah bin Amir r.a.: Ketika Rasulullah sedang duduk-duduk bersama kami, ibuku memanggilku. Ia berkata kepadaku, "Kemarilah, aku akan memberimu sesuatu." Rasulullah Saw. bertanya kepada ibuku, "Apa yang hendak kau berikan?" Ibuku menjawab, "Aku hendak memberinya sebutir kurma." Rasulullah Saw. bersabda, "Jika kamu tidak memberinya sesuatu, kamu telah berbohong." (H.R. Abu Dawud)

Dari Anas r.a.: Rasulullah Saw. mengutusku dalam sebuah misi, dan aku singgah kerumah untuk menemui ibuku. Ketika tiba, ibuku bertanya kepadaku, "Apa keperluanmu?" Aku menjawab, "Rasulullah Saw. sedang mengirimku dalam sebuah misi." Ibuku bertanya lagi, "Misi Apa?" Aku menjawab, "Itu rahasia." Ibuku kemudian berkata, "Janganlah sekali-kali kamu membicarakan rahasia Rasulullah Saw. kepada siapa pun.'" (H.R. Al Bukhari dan Muslim)

Dari Anas bin Malik r.a.: Seorang anak Abu Thalhah menderita sakit keras lalu meninggal pada saat ayahnya tidak ada di rumah. Ketika istrinya mengetahui bahwa anaknya telah meninggal, ia menyiapkan makan dan meletakkan mayatnya di samping rumah. Abu Thalhah datang dan bertanya, "Bagaimana kondisi anakku?" Istrinya menjawab, "Ia telah tenang dan aku berharap ia telah beristirahat." Abu Thalhah menyangka istrinya mengatakan yang sebenaranya, lalu ia tidur bersama istrinya. Pada pagi hari, ia mandi. Ketika hendak keluar rumah, istrinya memberitahukan bahwa anak mereka telah meninggal. Abu Thalhah pun shalat bersama Rasulullah Saw. dan memberitahukan kepada beliau apa yang telah terjadi. Rasulullah Saw. bersabda, "Semoga Allah memberkati malam kalian berdua." Seorang dari kalangan Anshar berkata, "Aku melihat suami-istri tersebut dianugrahi sembilan anak perempuan yang semuanaya hafal Al qur'an."

Dalam riwayat Al Bukhari disebutkan bahwa istri Thalhah berkata, "Kemudian aku melayaninya dengan lebih baik dari pada malam-malam sebelumnya sehingga Abu Thalhah pun menggauliku." Ketika melihat suaminya merasa puas atas pelayanannya, ia bertanya, "Wahai Abu Thalhah, apa pendapatmu jika suatu kaum meminjamkan sesuatu pada suatu keluarga, lalu mereka memintanya kembali, apakah keluarga tersebut boleh menahanya?" Abu Thalhah menjawab, " Tentu saja tidak." Istrinya berkata, "Sesuatu itu adalah anakmu." (H.R. Al Bukhari dan Muslim)

Dari Amir bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya: Seorang perempuan menemui Rasulullah Saw. dan berkata, "Sesungguhnya anakku telah di kandung dalam rahimku, menyusu dari payudaraku dan mendapatkan perlindunganku. Sekarang, ayahnya telah menceraiku dan ingin mengambil anak itu dariku." Rasulullah Saw. bersabda "Engkau lebih berhak dari pada dia selam enkau belum menikah lagi." (H.R. Abu Dawud, Ahmad, Baihaqi, dan dinilai shahih oleh Al Hakim)

Baca artikel lainnya:
Berbakti dan Bersilaturahmi [Baca]
Balasan Bagi Ibu Yang Baik -Bagian 2- [Baca]
Menikahi Janda [Baca]
Laknat Para Malaikat Bagi Perempuan Yang Enggan Melayani Suaminya [Baca]

Menikahi Janda


Dari Jabir bi Abdullah r.a.: Ubaidillah meningal dunia dan meninggalkan sembilan-atau tujuh-anak perempuan. Lalu aku menikahi seorang perempuan yang sudah beruban. Rasulullah Saw. bertanya kepadaku, "Wahai Jabir, apakah kamu telah menikah?" Aku menjawab, "Ya." Rasulullah Saw. bertanya lagi, "Apakah kamu menikah dengan seorang gadis atau janda?" Aku menjawab, "Aku menikah dengan seorang janda." Rasulullah Saw. bertanya lagi, "Apakah ia seorang istri yang bisa diajak bercanda?" Aku menjawab, "Sesungguhnya Ubaidillah telah meninggal dunia dengan meninggalkan sembulan-atau tujuh-anak perempuan. Aku tidak ingin menikahi perempuan yang seumur dengan mereka. Oleh karena itu aku menikahi seorang perempuan yang bisa merawat mereka." Rasulullah Saw. bersabda "Semoga Allah memberkatimu." (H.R. Bukhari dan Muslim)

Al Hafizh-dalam Al Fath-mengambil beberapa kesimpulan dari hadis ini, yaitu sebagai berikut.

Pertama, Islam mendorong seseorang untuk menikahi gadis. Lebih tegas, Beliu bersabda, "Kalian hendaklah menikahi gadis karena lebih ahrum mulutnya dan lebih aktif gerakan rahimnya." Barangkali, maksudnya adalah memberikan banyak anak.

Kedua, Rasulullah Saw. memberikan penghargaan kepada Jabir yang menyayangi dan memerhatikan anak-anak Ubaidillah serta mengorbankan kesenangannya sendiri demi kemaslahatan mereka.

Ketiga, apabila ada dua kepentingan yang harus dilakukan, dahulukan yang paling penting, karena Rasulullah Saw. membenarkan tindakan Jabir dan mendoakannya.

Keempat, hadis di atas mengajari kita untuk mendoakan orang yang melakukan kebaikan, walaupun ia tidak memiliki hubungan apa pun dengan kita.

Kelima, hadis di atas menunjukkan perhatian Nabi Saw. (pemimpin) kepada sahabatnya (bawahan). Dalam hal ini, Nabi Saw. mencari tahu keadaan Jabir bin Abdullah, lalu memberikan pesan terbaik kepadanya, bahkan dalam masalah pernikahan yang waktu itu tabu dibicarakan.

Keenam, tidak ada salahnya laki-laki menikahi seorang janda dengan maksud tertentu-misalnya memberikan nafkah kepada anak-anaknya dan menyambung ikatan persaudaraan-walaupun sang istri nantinya tidak mampu melayani kebutuhan seksual suami.[]

Baca artikel lainnya:
Balasan Bagi Ibu Yang Baik -Bagian 2- [Baca]
Balasan Bagi Ibu Yang Baik -Bagian 1- [Baca]
Laknat Para Malaikat Bagi Perempuan Yang Enggan Melayani Suaminya [Baca]
Meminta Izin Kepada Suami [Baca]

Selasa, 10 Agustus 2010

Laknat Para Malaikat Bagi Perempuan Yang Enggan Melayani Suaminya


Dari Abu Hurairah r.a.: Rasulullah Saw. bersabda, "Jika istri meninggalkan tempat tidur suaminya pada malam hari (tidak mau melayani hasratnya), ia akan dilaknat oleh malaikat hingga kembali." (H.R. Al Bukhari dan Muslim)

Sebagimana disebutkan dalam Al Fath Al Bari, hadis ini menjelaskan beberapa hal sebagai berikut.
Pertama, tidak menunaikan kewajiban kepada suami, baik yang berkaitan dengan pelayanan maupun penjagaan harta, bisa mendatangkan murka Allah, kecuali jika suami memaafkannya.

Kedua, para malaikat akan mendo'akan kejelekan bagi orang yang berbuat maksiat selama ia melakukannya. Mereka juga akan mendo'akan kebaikan bagi orang yang taat selam ia melaksanakan ketaatan.

Ketiga, nasehat agar membantu suami dan mencari keridhaannya. Hal itu karena kemampuan laki-laki untuk menahan dorongan hasrat lebih rendah dari pada perempuan.

Keempat, adanya godaan yang sangat besar bagi suami yang tidak menyalurkan kebutuhannya kepada istri. Karena itu, syariat mendorong istri untuk membantu suami dalam hal ini.

Kelima, pemenuhan syahwat bagi meneguhkan ketaatan kepada Allah dan bersabar dalam beribadah kepada-Nya. Karena itu, para malaikat akan melaknat orang yang membuat marah hamba-Nya dengan menghalangi penyaluran syahwatnya.[]

Baca artikel lainnya:
Balasan Bagi Ibu Yang Baik -Bagian 1- [Baca]
Menikahi Janda [Baca]
Meminta Izin Kepada Suami [Baca]
Pelayanan Terbaik Kepada Suami [Baca]

Meminta Izin Kepada Suami


Dari Abu Hurairah r.a.: Rasulullah Saw. bersabda, "Istri tidak boleh berpuasa, sementara suaminya sedang ada di rumah, kecuali setelah memperoleh izin darinya; tidak boleh mengijinkan orang lain masuk rumah kecuali atas izinnya; dan apa pun yang disedekahkan tanpa perintah suami, suami memperoleh separo pahalanya." (H.R. Al Bukhari)

Hadis di atasa menunjukkan bahwa pelayanan istri kepada suami yang sedang ada di rumah adalah dalam rangka memenuhi hak-haknya. Karena itu, ketika istri akan berpuasa sunnah, ia semestinya meminta izin terlebih dahulu kepada suami. Ia juga tidak boleh mengizinkan siapa pun untuk masuk rumah suaminya tanpa izin suaminya, serta tidak menafkah harta suaminya untuk kebaikan kecuali atas pengetahuan suami.

Al Hafizh-dalam Al Fath-berkata, "Dalam hadis ini ditegaskan bahwa memenuhi hak suami harus lebih didahulukan oleh istri dari pada melakukan kebaikan yang lain. Sebab, memenuhi haknya adalah kewajiban, dan menjalankan kewajiban harus didahulukan dari pada menjalankan ibadah sunnah."

Imam An Nawawi mnjelaskan hikmah dari larangan itu. Ia berkata, "Suami mempunyai hak untuk bersenang-senang dengan istrinya setiap saat. Hak ini wajib untuk segera dipenuhi, tidak boleh tertunda dengan ibadah sunnah, bahkan dengan ibadah wajib yang masih bisa ditunda. Karena itu, istri tidak boleh berpuasa tanpa izin suaminya. Apabila ingin bersenang-senang dengan istrinya-yang sedang berpuasa-ia boleh menyuruh istrinya untuk membatalkan puasa. Sebab biasanya seorang Muslim tidak berani menyuruh orang lain agar membatalkan puasanya. Dari hadis ini dipahami bahwa izin suami untuk melakukan ibadah diperlukan bila suami ada di rumah. Sementara itu, jika suami tidak ada di rumah, ia boleh melakukan ibadah suannah tanpa izinnya. Namun, jika suami sedang bepergian dan pulang kerumah ketika istri sedang berpuasa, ia boleh menyuruh istrinya membatalkan puasanya, dalam hal itu bukan tindakan makruh. Termasuk makna ketiadaan suami adalah bila ia sedang sakit sehingga tidak bisa melakukan senggama."

Berkenaan dengan keharusan meminta izin suami ketika mengundang orang ke rumah, Al Hafizh dalam Al Fath berkata, "Istri tidak boleh mengizinka siapapun masuk ke rumah suami tanpa izinnya," merupakan syarat yang sulit dipahami. Ketiadaan suami di rumah tidak berarti boleh mngizinkan orang lain masuk rumah. Justru, ketika itulah larangan tersebut lebih ditekankan berdasarkan beberapa hadis yang menegaskan larangan bagi istri untuk mengizinkan orang lain masuk ke dalam rumah pada saat suaminya tidak ada. Barangkali, inilah maksud hadis tersebut. Sebab, ketika suami ada di rumah, istri lebih mudah meminta izin kepadanya."

Imam An Nawawi berkata, "Dalam hadis ini ada isyarat bahwa kewajiban meminta izin kepada suami harus dilakukan ketika istri belum suaminya merestuinya. Sekiranya istri mnegetahui bahwa suaminya merestui, tidak meminta izin kepadanya adalah kebolehan. Misalnya, istri mempersilahkan para tamu masuk rumah di tempat yang dikhususkan bagi meraka (ruang tamu), baik ada suami ketika itu maupun tidak ada. Dalam hal ini, mempersilahkan mereka masuk tidak perlu izin khusus dari suami."[]

Baca artikel lainnya:
Menikahi Janda [Baca]
Laknat Para Malaikat Bagi Perempuan Yang Enggan Melayani Suaminya [Baca]
Pelayanan Terbaik Kepada Suami [Baca]
Menjaga Keharmonisan Rumah Tangga [Baca]

Pelayanan Terbaik Kepada Suami


Dari Aisyah r.a.: Aku bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang siapa yang lebih berhak dipatuhi perempuan. Rasulullah Saw. menjawab, "Suaminya." Kemudian, aku bertanya lagi siapa yang lebih berhak dipatuhi dan ditaati laki-laki. Rasulullah Saw. menjawab, "Ibunya." (H.R. Al Bazzar dan Al HAkim)

Hadis ini menunjukkan beberapa hal berikut

Pertama, besar atau kecil anugrah bergantung pada tingkat kepuasan dan kelapangan dalam menerimanya (qana'ah). Dengan kelapangan hati, perempuan akan menyadari hak-hak yang harus dipenuhinya dan kepada siapa ia menunaikan hak tersebut. Hal ini ditunjukkan dalam pernyataan dan keingintahuan Aisyah r.a. di atas.

Kedua, istri harus mengetahui bahwa suami memiliki hak yang lebih besar yang harus dipenuhi secara khusus dari pada kedua orang tuanya. Ibn Taimiyah berkata, "Seluruh ketaatan kepada kedua orang tua kini berpindah kepada suami sehingga tidak ada lagi ketaatan istri kepada kedua orang tuanya. Sebab, ketaatan kepada kedua orangtua adalah karena kekerabatan, sedangkan ketaatan kepada suami karena ikatan pernikahan. Oleh karena itu, istri tidak boleh dari rumah tanpa izin suami, walaupun diminta oleh ayah, ibu atau yang lainnya. Demikian ijma para ulama. Jika suami ingin mengajaknya pindah ke tempat lain dengan tetap memenuhi kewajibannya dan memperlakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah, tetapi ayah perempuan itu melarangnya mengikuti suaminya, istri harus patuh kepada suaminya, bukan kepada kedua orang tuanya." Apabila perempuan menyadari hak-hak ini, ia dinilai sebagai orang yang bijaksana dan menyelamatkan rumah tangganya dari banyak hembusan badai yang bisa menghancurkan rumah tangganya. Karena itu, pahamilah ini!

Ibn Al Jauzi-dalam Ahkam Al Nisa-berkata, "Tidak sepantasnya kesua orang tua dan seluruh keluarga istri menuntutnya agar lebih mengutamakan mereka. Ia harus lebih mengutamakan suaminya. Hal ini ditegaskan oleh pembuat syariat (Allah). Karena itu, berhati-hatilah dalam masalh ini."

Di tempat lain, Ibn Jauzi berkata, "Sebaliknya, kedua orang tua perempuan, khususnya ibu, memberitahukan kepadanya hak-hak suami. Dari Amir bin Sa'id diriwayatkan bahwa Ali r.a. pernah marah kepada Fatimah r.a. Karena kemarahan Ali, Fatimah berkata, 'Demi Allah, aku akan mengadukanmu kepada Rasulullah Swa.' Fatimah menemui Rasulullah dan Ali pun mengikutinya dan berdiri di tempat yang memungkinkan untuk mendengar percakapan mereka. Mendengar pengaduan Fatimah tentang kemarahan Ali, Rasulullah Saw. bersabda, 'Wahai putriku, perhatikan, dengarkan, dan renungkan! Seorang istri harus bisa memberikan kesenangan kepada suaminya.' Ali diam saja. Lalu ia berkata, 'Aku pulang, Demi Allah, aku tidak akan mengulangi lagi sesuatu yang tidak disukainya.' Fatimah pun berkata, 'Demi Allah, aku tidak akan melakukan sesuatu yang tidak disukainya untuk selamanya.'"

Ketiga, istri harus menjaga hak pelayanan terbaik kepada suami sampai ia meninggal dunia.[]

Baca artikel lainnya:
Laknat Para Malaikat Bagi Perempuan Yang Enggan Melayani Suaminya [Baca]
Meminta Izin Kepada Suami [Baca]
Menjaga Keharmonisan Rumah Tangga [Baca]
Menjaga Kesucian Diri [Baca]

Senin, 09 Agustus 2010

Menjaga Keharmonisan Rumah Tangga


Dari Ibn Umar r.a.: Rasulullah Saw. bersabda, "Masing-masing dari kalian adalah pemimpin, dan masing-masing akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Pemimpin adalah penjaga. Suami adalah penjaga anggota keluarganya, dan istri adalah penjaga rumah suami dan anaknya. Masing-masing dari kalian adalah pemimpin, dan masing-masing akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya." (H.R. Al Bukhari dan Muslim.)

Dari Abu Hurairah r.a.: Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda, "Perempuan Quraisy adalah sebaik-baik perempuan Arab, yang paling sayang kepada anak-anak, yang paling baik dalam menjaga harta suami." (H.R. Bukhari dan Muslim.)

Dari Ali r.a.: Ketika menikahkan Fatimah, Rasulullah Saw. mengirim beludru, bantal yang berisi serat, dua buah piring dan dua buah gelas kepadanya. Suatu hari, Ali berkata kepada Fatimah, "Aku telah menimba air sehingga dadaku sakit, Allah telah menganugrahkan kepada Rasulullah Saw. pelayan-pelayan. Karena itu, pergilah kesana dan mintalah seorang pelayan untuk kita." Fatimah berkata, "Demi Allah, aku juga telah menumbuk gandum sehingga kedua tanganku melepuh." Lalu Fatimah menemui Rasulullah Saw. Melihat kedatangan putrinya, beliau bertanya, "Ada apa gerengan putriku?" Fatimah menjawab, "Aku datang untuk memberi penghormatan kepada ayah." Fatima merasa malu untuk meminta sesuatu kepada Nabi Saw. sehingga ia pun pulang dengan tangan hampa.

Akhirnya mereka berdua (Ali dan Fatimah) menemui Nabi Saw. Ali menceritakan keadaan mereka berdua kepada beliau. Mendengar hal itu, Rasulullah Saw. bersabda, "Demi Allah, aku tidak bisa memberikan apa pun kepada kalian. Aku juga meninggalkan Ahli Suffah yang kelaparan. Aku tidak mempunyai apa pun yang bisa aku berikan kepada mereka. Akan tetapi, aku menjual sesuatu yang hasilnya aku berikan kepada mereka." Ali dan Fatimah pulang ke rumah mereka. Kemudian, Nabi Saw. mendatangi mereka dan mendapati mereka sedang berbaring, berselimutkan kain beludru yang sangat kecil. Apabila mereka menariknya untuk menutup muka, kedua kaki mereka terbuka. Sebaliknya, apabila mereka menarik untuk menutup kedua kaki, muka mereka pun terbuka. Rasulullah Saw. bersabda, "Tetaplah di tempat kalian! Maukah kuberitahukan kepada kalian sesuatu yang lebih baik dari daripada yang kalian minta kepadaku?" Ali menjawab, "Tentu"

Nabi Saw. bersabda, "Ada dua kalimat yang telah diajarkan jibril kepadaku, yaitu kalian membaca tasbih, tahmid dan takbir masing-masing sepuluh kali setiap selesai melaksanakan shalat. Ketika kalian akan tidur, bacalah kalimat-kalimat tersebut masing-masing sebanyak tiga puluh tiga kali." Ali berkata, "Demi Allah, aku tidak pernah meninggalkan aku tidak pernah meninggalkan itu semua sejak diajarkan oleh Rasulullah Saw." Ibn Ah Kiwa' bertanya, "Meskipun pada malam Perang Shifin?" Ali menjawab, "Semoga Allah membinasakan kalian, wahai para perampok! Ya, meskipun pada malam Perang Shifin." (H.R. Al Bukhari dan Muslim.)

Dari Asma' r.a.: Ketika Zubair menikahiku, ia tidak memiliki kebun, budak dan sesuatu pun kecuali seekor kuda. Akulah yang memberi makan kudanya, mencukupi kebutuhannya dan merawatnya. Aku menumbuk biji gandum untuk untanya, dan memberinya makan. Aku juga mengambil air dan menimba, serta membuat adonan roti. Namun, aku tidak pandai membuat roti. Karena itu, tetangga-tetanggaku dari kalangan Anshar membuatkan roti untukku. Mereka semua adalah perempuan-perempuan yang tulus dan iklas. Aku membawa biji gandum di atas kepalaku dari kebun milik Zubair yang berjarak dua pertiga farsakh. Kebun itu adalah pembagian dari Rasulullah Saw.

Suatu hari, Aku pulang sambil membawa biji gandum di atas kepala. Lalu, aku bertemu dengan Rasulullah Saw. bersama sekelompok sahabatnya. Beliau memanggilku seraya bersabda, "Wah, wah!" Beliau mengajakku berboncengan di belakangnya. Akan tetapi aku merasa malu berjalan bersama kaum laki-laki. Aku pun teringat kepada Zubair. Ia adalah laki-laki yang sangat pecemburu. Karena itu, beliau segera berlalu. Kemudian, aku sampai di rumah.Aku berkata kepada Zubair, "Tadi aku bertemu dengan Rasulullah Saw. beserta sekelompok sahabatnya, sementara aku membawa biji gandum di atas kepalaku. Beliau mengajakku berboncengan bersamanya, tetapi aku merasa malu. Aku juga menyadari kecemburuanmu."

Zubair berkata, "Demi Allah, memikul biji gandum lebih buruk daripada berboncengan bersama Rasulullah Saw." Asma berkata, "Setelah kejaidan itu, Abu Bakar mengirim seorang pelayan untukku sehingga aku cukup merawat kuda saja. Dengan demikian, seolah-olah Abu Bakar telah melepas bebanku." (H.R. Bukhari dan Muslim.)

Hadis-hadis di atas menunjukkan beberapa hal sebagai berikut.

Pertama, pengorbanan seorang perempuan yang sangat sabar dalam menjaga rumah dan anak-anaknya.

Kedua, faktor-faktor kebaikan dalam diri perempuan terutama dalam menjaga harta suami dan mengasihi anak.

Ketiga, andil istri dan suami dalam memikul tanggungjawab rumah tangga. Tanggung jawab mereak masing-masing-seagai mana dijelaskan olah Ibn Hubaib dalam Al Wadhihah-adalah pembagian tugas yang seimbang sesuai peran dan fungsinya. Dalam hadis di atas, Rasulullah Saw menentukan pembagian tugas antara Ali bin Abi Thalib r.a. dan istrinya, Fatimah r.a., ketika mereka mengadu tentang pekerjaan rumah. Beliau menetapkan bahwa Fatimah bertanggung jawab atas urusan internal di dalam rumah, dan Ali bertanggung jawab atas urusan eksternal di luar rumah. Urusan internal adalah membuat adonan roti, memasak, merawat kuda, membersihkan rumah, menyediakan air minum, dan pekerjaan-pekerjaan rumah lainnya.

Dalam Hadis yang diriwayatkan Asma, dijelaskan bahwa Fatimah mengadukan luka di tangannya kepada Rasulullah Saw. dan meminta dicarikan pembantu. Kemudian Nabi menunjukkan kepadanya sesuatu yang lebih baik dari pada mencari pembantu, yaitu zikir kepada Allah Swt.

Keempat, hadis yang diriwayatkan Asma memaparkan sebuah contoh perempuan yang bekerja keras dan mengorbankan diri dalam melayani suami. Tak seorangpun bisa memungkiri teladan yang ditampilakan Asma. Al Muhlib berkata, "Perempuan akan mulia kedudukanya jika patuh dan membari pelayanan kepada suaminya dengan suka rela. Ayah dan penguasa tidak boleh menghalanginya. Sekiranya kepatuhan kepada suami karena terpaksa, ayahnya tidak boleh membiarkan putrinya menderita."

Kelima, terhadap pengorbanan istri, suami harus memberikan cinta dan kasih sayang yang mengesampingkan kecemburuannya. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Zubair ketika menegur istri tercintanya, Asma. Ia berkata, "Demi Allah, memikul biji gandum lebih buruk daripada berboncengan bersama Rasulullah Saw." Ketika mengomentari hadis di atas, Al Muhlib berkata, "Hadis ini menunjukkan kasih sayang suami kepada istrinya yang bekerja keras untuk melayaninya, terutama jika sang istri dari keluarga terpandang."

Keenam, dalam hadis yang diriwayatkan Ali r.a., ditunjukkan keutamaan dzikir kepada Allah Swt. Al Hafizh berkata, "Sabda Rasulullah Saw., Maukah kuberitahukan kepada kalian sesuatu yang lebih baik dari daripada yang kalian minta kepadaku? menegaskan bahwa orang yang biasa berdzikir kepada Allah Swt. akan diberikan kekuatan yang lebih besar dari pada kekuatan yang dimiliki oleh seorang pelayan. Makna lain yang dipahami dari hadis ini adalah bahwa bacaantasbih bermanfaat untuk kehidupan akhirat, sedangkan pelayan hanya berguna untuk kehidupan dunia. Sementara itu, kehidupan akhirat lebih baik dan lebih kekal."

Ketujuh, hadis yang diriwayatkan Asma menujukkan bahwa perempuan tidak boleh berboncengan di belakang laki-laki. Dalam hadis ini tidak disebutkan bahwa Asma mengenakan hijab dan tidak pula dijelaskan bahwa Rasulullah Saw. menyuruhnya mengenakan hijab. Dari sini, dapat dipahami bahwa ketika itu, hijab hanya berlaku bagi istri-istri Rasulullah Saw. Dengan demikian, tampaknya peristiwa di atas terjadi sebelum ada perintah untuk mengenakan hijab bagi perempuan.[]

Baca artikel lainnya:
Meminta Izin Kepada Suami [Baca]
Pelayanan Terbaik Kepada Suami [Baca]
Menjaga Kesucian Diri [Baca]
Melihat Aurat Sesama [Baca]

Menjaga Kesucian Diri


Dari Abu Malih Al Hudzli: Kaum perempuan kota Himsh atau penduduk Syam menemui Aisyah. Lalu, Aisyah berkata, "Kalian adalah kaum perempuan yang masuk kamar mandi. Padaha, aku dengar Rasulullah Saw. bersabda, 'Siapa saja perempuan yang meletakkan pakaiannya bukan di rumah suaminya, Allah Swt. akan membuka aibnya.'" (H.R. Al Tirmidzi, Abu Dawud, dan Al Hakim.)

Dari Fudhalah bin Ubaid: Ada tiga orang yang tidak akan ditanya (dipedulikan), yaitu laiki-laki yang keluar dari jamaah dan membangkang kepada imamnya lalu mati sebagai pembangkang, budak perempuan atau laki-laki yang melarikan diri lalu mati, dan perempuan yang ditinggal pergi suaminya yang telah memenuhi seluruh kebutuhan duniawinya tetapi ia mempertontonkan perhiasannya dan kecantikannya ketika suaminya pergi. Mereka semua tidak akan ditanya oleh Allah Swt. (H.R. Al Bukhari dalam Al Adab Al Mufrad, Ibn Hibban, Al Hakim dan Ahmad.)

Abu Hurairah r.a.: Ketika turun ayat Al Mula'anah (tentang suami istri yang saling melaknat kerena dugaan perbuatan serong), Rasulullah Saw. bersabda, "Siapapun perempuan yang menemui suatu kaum yang bukan kerabatnya, ia tidak akan memperoleh apa pun dari Allah Swt, dan Dia tidak akan memasukkannya ke dalam surga ..." (H.R. Abu Dawud dan An Nasa'i.)

Hadis-hadis di atas menunjukkan tiga contoh penyimpangan yang dilakukan oleh perempuan yang tidak menjaga diri. Mereka tidak menjaga kesucian diri dan menjerumukan dirinya ke dalam ancaman fitnah yang besar. Mereka juga tidak segera kembali pada ajaran Islam dan berlindung kepada Allah Swt. dengan bertaubat kepada-Nya.

Tiga contoh penyimpangan itu adalah: pertama, perempuan yang membuka aurat dan tidak memelihara agama dan kehormatannya. Ia tidak peduli bahwa dirinya sering memakai pakaian tipis atau melepas pakaiannya di mana saja di luar rumah suaminya. Ia bahkan memperlihatkan auratnya di tempat-tempat umum dan di depan orang-orang yang tidak berhak melihat auratnya.

Kedua, perempuan yang keluar rumah tanpa suatu keperluan, baik ketika suaminya ada di rumah atau sedang pergi, ia tidak malu membuka auratnya. Padahal, kepergian suaminya adalah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dalam hal ini, ia telah menghinakan dirinya sendiri sehingga tidak akan di tanya oleh Allah Swt. kelak di hari kiamat. Bagi seorang istri, kepergian suami adalah ujian besar. Karena itu, ia harus mampu menjaga kesucian, menjaga diri, dan tidak mengikuti ajakan-ajakan yang dapat menjatuhkan harga dirinya.

Ketiga, perempuan yang menghianati suaminya. Penghianatan istri kepada suami akan menghilangkan jaminan perlindungan Allah Swt. Jika ia tidak segera bertaubat, mungkin ia tidak akan pernah masuk surga.[]

Baca artikel lainnya:
Pelayanan Terbaik Kepada Suami [Baca]
Menjaga Keharmonisan Rumah Tangga [Baca]
Melihat Aurat Sesama [Baca]
Interaksi Perempuan Dengan Laki-Laki [Baca]

Melihat Aurat Sesama


Dari Abu Sa'id r.a.: Rasulullah Saw. bersabda, "Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat sesama laki-laki, dan perempuan tidak boleh melihat aurat sesama perempuan. Seorang laki-laki tidak boleh tidur dengan seorang laki-laki lain dalam satu selimut, dan perempuan tidak boleh tider dengan perempuan lain dalam satu selimut." (H.R. Muslim)

Dari Ummu Salamah r.a.: Suatu hari, aku duduk di samping Rasulullah Saw., dan di samping beliau ada Maimunah. Kemudian, datanglah Ibn Maktum yang menemui beliau. Hal itu terjadi setelah kami diperintahkan untuk mengenakan hijab. Rasulullah Saw. bersabda, "Pakailah hijab kalian!" Kami bertanya, "Wahai Rasulullah, bukankah ia buta dan tidak akan melihat kami?" Rasulullah Saw. bersabda, "Apakah kalian buta? Bukankah kalian berdua melihatnya?"

Dari Abu Salamah r.a.: Aku bertanya kepada A'isyah tentang anak perempuan Qais. Ia mengatakan bahwa suaminya telah menceraikannya sehingga menolak untuk memberikan nafkah kepadanya. Kemudian, putri Qais mendatangi Rasulullah Saw. dan mengatakan hal itu kepada beliau. Rasulullah Saw. bersabda, "Tidak ada nafkah bagimu. Pergilah kepada Ibn Ummi Maktum. Tetaplah bersamanya, karena ia adalah laki-laki buta. Letakkanlah pakaianmu di sisinya." (H.R. Muslim)

Hadits yang diriwayatkan Abu Sa'id menjelaskan tentang larangan melihat aurat sesama jenis, apalagi yang berbeda jenis.

Sebaigian ulama berpendapat bahwa hadis dari Ummu Salamah merupakan dalil pengharaman perempuan melihat laki-laki lain. Menurut imam An Nawawi, pendapat demikian dinilai lebih tepat. Sebab, Allah Swt. berfirman, ... Katakanlah kepada perempuan yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangan ..." (An Nur [24]: 31)

Sementara itu, mereka yang berpendapat bahwa melihat anggota tubuh selain antara pusar dan lutut dibolehkan beragumentasi berdasarkan hadis Aisyah dan Fatimah binti Qais di atas. Mereka juga beragumentasi pada hadis lain yang menyebutkan kunjungan Rasulullah Saw. kepada kaum perempuan pada Idul Fitri setelah berkhutbah. Ketika itu, Nabi bersama Bilal mengingatkan mereka agar bersedekah.

Imam Al Syaukani dalam Nalil Al Autar berkata, "Imam Abu Dawud telah mengompromikan beberapa hadis ini. Menurutnya, hadis Ummu Salamah khusus berkenaan dengan istri-istri Rasulullah Saw., sedangkan hadis Fatimah berkenaan dengan seluruh kaum perempuan." Al Hafidz dalam Al Talkhish berkata, "Ini adalah upaya kompromi yang baik." Kompromi seperti ini juga dilakukan oleh Al Mundziri.[]

Baca artikel lainnya:
Menjaga Keharmonisan Rumah Tangga [Baca]
Menjaga Kesucian Diri [Baca]
Interaksi Perempuan Dengan Laki-Laki [Baca]
Adab Berjalan Di Tempat Umum [Baca]

Sabtu, 07 Agustus 2010

Interaksi Perempuan Dengan Laki-Laki


Dari Uqbah bin Amir r.a.: Rasulullah Saw. bersabda, "Waspadalah, jangan menemui kaum perempuan." Seorang laki-laki dari kalangan Anshar bertanya, "Walaupun ia saudara ipar?" Nabi menjawab, "Menemuinya seperti menemui kematian." (H.R. Ahmad, Al Bukhar dan Al Tirmidzi)

Dari Jabir bin Abdullah r.a.: Rasulullah Saw. bersabda, "Ingatlah, seorang laki-laki tidak boleh tidur di rumah seorang perempuan, kecuali setelah menikah atau karena muhrim." (H.R. Muslim)

Dari Abdullah bin Amir Al Ash r.a.: Suatu hari sekelompok orang dari bani Hasyim menemui asma' binti Umais di rumahnya. Ia adalah istri Abu Bakar. Ketika Abu Bakar datang, ia tidak menyukai pertemuan itu. Karena itu, Abu Bakar menyampaikan hal tersebut kepada Rasulullah Saw. Beliau bersabda, "Aku kira, hal itu baik." Abu Bakar berkata, "Allah memaafkan Asma binti Umais." Kemudian, Rasulullah Saw. berdiri di atas mimbar dan bersabda, "Setelah hari ini, seorang laki-laki tidak diperkenankan masuk ke rumah perempuan yang sedang ditinggal pergi suaminya, kecuali jika ditemani oleh satu atau dua orang laki-laki." (H.R. Muslim)

Dari Aisyah r.a.: Suatu hari seorang waria menemui istri-istri Rasulullah Saw. dan mereka menganggap bahwa ia adalah seorang yang tidak mempunyai hasrat terhadap perempuan. Ketika menemui mereka, Rasulullah Saw. sedang duduk bersama sebagian istrinya sambil berbicara tentang seorang perempuan. Ia berkata, "Kulihat ada lipatan lemak di perutnya." Nabi Saw. bersabda, "Ketahuilah, orang ini mempunyai hasrat. Jangan dibiarkan ia menemui kalian." (H.R. Ahmad, Muslim dan Abu Dawud)

Dari Aisyah r.a.: Suatu hari, Rasulullah Saw. menemuiku, sementara di rumahku ada seorang laki-laki. Beliau bertanya, "Wahai Aisyah, siapakah orang ini?" Aku jawab, "Saudara sepersusuanku." Beliau bersabda, "Wahai Aisyah, telitilah, siapa saja yang menjadi saudara-saudaramu. Yang disebut saudara sepersusuan adalah yang disusui sampai kenyang." (H.R. Jamaan kecuali Al Tirmidzi)

Dari Aisyah r.a.: Suatu hari paman sepersusuanku datang dan minta izin untuk bertemu denganku. Aku menulak untuk mengizinkannya hingga aku bertanya kepada Rasulullah Saw. Kemudian, beliau datang dan aku menanyakan hal itu kepadanya. Beliau bersabda, "Ia adalah pamanmu. Oleh karena itu, izinkanlah." Aku berkata, "Wahai Rasulullah, yang sepersusuan denganku adalah perempuan, bukan laki-laki (orang yang datang)." Beliau menjawab, "Ia adalah pamanmu sehingga boleh menemuimu." Aisyah berkata, "Peristiwa itu terjadi sebelum kami diwajibkan memakai hijab." Selanjutnya, Aisyah berkata, "Diharamkan kepada kerabat sepersusuan seperti yang diharamkan kepada kerabat sedarah." (H.R. Jamaah)

Beberapa hadits di atas menjelaskan beberapa hal berikut.

Pertama, sedemikian besar perhatian islam dalam memuliakan kaum perempuan dan menjaga mereka dari gosip-gosip yang menyesatkan.

Kedua, dengan berbagai cara, islam melarang perempuan berduaan dengan laki-laki karena bisa menjerumuskan dalam perbuatan haram.

Ketiga, seorang istri boleh menerima kunjungan seorang laki-laki lain dengan syarat ada suami atau muhrim.

Keempat, perempuan boleh menerima kunjungan saudara-saudara sepersususan.

Kelima, ada pelajaran penting dalam sikap Aisyah yang meminta izin terlebih dahulu kepada Rasulullah Saw. sebelum mengizinkan paman sepersusuannya untuk masuk menemuinya.[]

Baca artikel lainnya:
Menjaga Kesucian Diri [Baca]
Melihat Aurat Sesama [Baca]
Adab Berjalan Di Tempat Umum [Baca]
Bagaimana Perempuan Berhias [Baca]

Adab Berjalan Di Tempat Umum


Dari Hamzah bin Abu Usaid Al Anshari dari ayahnya: Ia mendengar Rasulullah Saw. berbicara di luar masjid. Ketika itu, perempuan dan laki-laki berbaur di jalan. Kepada kaum perempuan, Rasulullah Saw. bersabda, "Perlahanlah, karena kalian tidak berjalan ditengah jalan. Berjalanlah di pinggir jalan!" Kaum perempuan merapat ke dinding sehingga pakaian mereka menempel ke dinding. (H.R. Abu Dawud)

Hadits di atas menjelaskan adab perempuan ketika berjalan di jalan umum. Mereka di anjurkan untuk tidak berbaur dengan kaum laki-laki.[]

Baca artikel lainnya:
Melihat Aurat Sesama [Baca]
Interaksi Perempuan Dengan Laki-Laki [Baca]
Bagaimana Perempuan Berhias [Baca]
Batasan Aurat Perempuan [Baca]

Bagaimana Perempuan Berhias


Dari Hamid bin Abdurrahman: Mu'awiyah r.a. berdiri di atas mimbar pada bulan haji. Ia memegang seikat gulung rambut yang sebelumnya berada di tangan pengawalnya. Mu'awiyah berkata, "Wahai penduduk Madinah, di manakah ulama kalian? Aku telah mendengar Rasulullah Saw. bersabda, 'Sesungguhnya bani Israil hancur karena mengambil gulung rambut perempuan.'" (H.R. Al Bukhari dan Muslim)

Dari Anas bin Malik r.a.: Rasulullah Saw. melaknat kaum laki-laki yang suka berdandan menyerupai perempuan dan kaum perempuan yang suka menyerupai laki-laki. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. melaknat laki-laki yang berdandan seperti perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki. nabi Saw. bersabda, "Keluarkanlah mereka dari rumah kalian!" Kemudian beliau mengeluarkan si Fulan dan Umar mengeluarkan si Fulan. (H.R. Ahmad dan Al Bukhari)

Dari Imran bin Hushain: Rasulullah Saw. bersabda, "Ketahuilah, parfum bagi laki-laki adalah yang tidak berwarna tapi wanginya kuat. Ketahuilah, parfum bagi perempuan adalah yang berwarna tapi wanginya lembut." (H.R. Abu Dawud)

Dari Aisyah r.a.: Suatu hari, istri Utsman bin Mazh'un menyemir rambut, memakai wewangian dan meninggalkan suaminya, lalu menemuiku. Aku bertanya kepadanya, "Apakah suamimu sedang ada di rumah atau sedang pergi?" Ia menjawab, "Ada, tetapi seperti tak ada." Aku bertanya lagi, "Mengapa demikian?" Ia menjawab, "Utsman adalah orang yang tidak menginginkan dunia dan tidak tertarik pada perempuan." (H.R. Abu Dawud)

Dari Ubaidullah bin Uthbah bin Mas'ud: Umar bin Abdullah mengirim surat kepada Ubaidullah bin Abdullah bin Uthbah untuk memberitahukan bahwa Subai'ah telah memberi kabar kepadanya bahwa ia masih bersetatus sebagai istri Sa'ad bin Khaulah dari bani Amir bin Lu'ay. Sa'ad adalah orang yang ikut berjihad dalam medan perang Badar. Ia meninggal dunia dengan meninggalkan Subai'ah pada Haji Wada'. Ketika itu, Subai'ah sedang mengandung. Tidak lama setelah kematiannya, Subai'ah melahirkan. Ketika sudah melewati masa nifasnya, Subai'ah mempercantik diri supaya ada orang yang berkenan melamarnya. Oleh karena itu, Abu Sanabil bin Bu'kak menemuinya dan berkata, "Mengapa kamu mempercantik diri seperti ingin menikah lagi? Demi Allah, kamu tidak boleh menikah sebelum masa iddah mu habis, yaitu empat bulan sepuluh hari." Subai'ah berkata, "Setelah Al Sanabil mengatakan hal itu, aku mengemas baju-bajuku dan pergi menemui Rasulullah Saw. Aku bertanya kepada beliau tentang hal itu. Beliau mengatakan ketika aku sudah melahirkan, aku telah resmi menjadi janda. Beliau menyuruhku menikah bila telah ada laki-laki yang melamarku." (H.R. Jamaah kecuali Al Tirmidzi).

Beberapa hadist di atas menunjukkan beberapa hal sebagi berikut.

Pertama, pada umumnya perempuan terikat dengan fitrah atau karakter penciptaannya. Karena itu, dengan motif untuk mempercantik diri dan mengenakan perhiasan, perempuan tidak sepantasnya memiliki kecendrungan untuk menyerupai laki-laki dalam hal-hal yang khusus berkenaan dengan kaum laki-laki, seperti potong rambut. Demikian juga, perempuan tidak semestinya melampaui batas dalam merubah penampilan asli serta melakukan kepalsuan dalam berdandan, seperti menyambung rambut. Di sinilah kita memahami hikmah pengharaman tersebut.

Dalam kitab Al Kasysyaf dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan al zinah (perhiasan) adalah segala sesuatu yang digunakan perempuan ntuk berhias, seperti cincin emas, celak, dan cat kuku. Apabila perhiasan dikenakan pada anggota tubuh yang boleh tampak, misalnya cincin pada jari tangan dan celak pada mata, hukum menampakkannya adalah boleh. Namun, apabila perhiasan dikenakan pada anggota tubuh yang haram ditampakkan, seperti gelang tangan, gelang kaki, anting, kalung, dan mahkota memperlihatkannya kepada orang lain haram hukumnya, kecuali pada meraka yang disebutkan dalam ayat,


... dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang [biasa] tampak darinya. Hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan pehiasannya, kecuali pada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau perempuan-perempuan islam, atau budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan [terhadap perempuan], atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan.
(Q.S. An Nur [24]:31)

Mengapa hanya disebutkan perhiasan, tanpa disebutkan anggota tubuh yang menjadi tempat pemakaiannya? Hal itu menunjukkan penekanan (al mubalaghah) terhadap perintah untuk menjaga dan menyembunyikannya. Sebab, perhiasan-perhiasan tersebut pada umumnya dikenakan pada anggota tubuh yang tidak seorangpun diperkenankan melihatnya, kecuali mereka yang disebutkan dalam ayat di atas. Anggota-anggota tubuh tersebut adalah tangan, betis, lengan, leher, kepala, dada dan telinga. Dengan demikian, larangan memperlihatkan perhiasan itu sendiri menunjukkan larangan melihat pada tempat-tempat pemakaiannya. Dan, tidak satupun pendapat yang menghalalkan melihat anggota tubuh yang disebutkan, walaupun tanpa mengenakan perhiasan. Kesimpulanya, perempuan boleh memperlihatkan anggota tubuh yang dijadikan tempat perhiasan bila ada tuntutan kebutuhan, seperti menghilangkan sesuatu, jual-beli dan memberi kesaksian. Hal itu dikecualikan dari larangan memperlihatkan anggota tubuh yang menjadi tempat perhiasan.

Sementara itu, Abdul Halim Abu Syuqqah dalam bukunya, Tahris Al Mar'ah fi Ashr Al Risalah, mengatakan bahwa sebagian ulama berpendapat bahwa wajah perempuan itu sendiri adalah perhiasan. Apakah kita akan menambahkan fitnah dengan menambahkan perhiasan? Hal ini akan di jawab dengan alasan berikut.

Pertama, perintah menutup aurat bagi perempuan bukanlah hasil ijtihad yang bisa benar dan bisa salah. Akan tetapi, perintah itu merupakan ketetapan nash (Al Qu'an dan Hadits). Sementara itu, tidak boleh berijtihad dalam sesuatu yang ditegaskan oleh nash. Selama pemilik syariat (Allah) menetapkan suatu hukum, tidak seorangpun boleh bisa mengingkarinya.

Kedua, ketentuan syariat tentang akan muncul fitnah berkaitan dengan perhiasan perempuan, pada dasarnya tidak hanya berkaitan dengan masalah perhiasan, tetapi berkaitan dengan masalah perempuan secara umum. Namun, perempuan tidak dilarang berakitvitas ditengah masyarakat dan berinteraksi dengan kaum laki-laki. Untuk itu, syariat menetapkan aturan sopan santun (etika) bagi setiap aktivitasnya, misalnya dalam berbicara, berjalan dan berkumpul dengan orang lain. Apabila etika-etika dipelihara, perempuan akan terhindar dari segala macam fitnah.[]

Baca artikel lainnya:
Interaksi Perempuan Dengan Laki-Laki [Baca]
Adab Berjalan Di Tempat Umum [Baca]
Batasan Aurat Perempuan [Baca]
Berpakaian Tetapi Telanjang [Baca]